Rabu, 22 April 2015

Kisah Nyata - Sedikit Kejujuran Pahit Dari Seorang Ayah

Kisah ini bermula dan terjadi kepada bapak veteran perang kemerdekaan, seorang pejuang yang sholehserta pekerja keras. Beliau memiliki sebuah kebiasaan yang begitu hebat di usianya yang memasuki 93 tahun, beliau tidak pernah meninggalkan sholat berjamaah di masjid untuk maghriba, isya dan shubuh.

Saat ini beliau mulai menua dan tidak mampu lagi untuk bangun dari tempat tidur sejak dua bulan lalu. Sekarang beliau hanya terbaring di rumah di temani oleh anak - anaknya sejak dua bulan terakhir. Kesadarannya mulai menghilang, beliau mulai hidup di fase antara dunia nyata dan impian. Bahkan beliau sering mengigau dan berkata - kata dalam tidurnya. Dua bulan terakhir ini kesehariannya hanya di habiskan dalam kondisi tidur dan kepayahan.

Oleh karena beliau memiliki pribadi yang baik, maka anank - anak beliau pun juga di ajarkan dengan cukup baik oleh sang ayah. Mereka memiliki iman yang ibadah yang terjaga, berpenghasilan yang lumayan, dan mereka cukup akrab. Ketika sang ayah jatuh sakit, mereka pun bergantian untuk menjaga sang ayah demi berbakti kepada orang tua.

Akan tetapi, disini ada beberapa kisah yang cukup mengiris hati. Sebuah penuturan yang jujur dan polos yang terjadi dan saya tuturkan kembali agar kita semua bisa mengambil hikmah dari kisah nyata ini.

Alkisah, pada suatu hari di malam lebaran, sang ayah di bawa kerumah sakit karena kondisi tubuh dan sesak di pernafasannya. Malam itu, sang anak yang bekerja di luar kota dan baru sampai, bersikeras menjaga sang ayah di kamar sendirian. Beliau duduk di bangku sebelah ranjang rumah sakit di mana disitu terdapat sang ayah sedang tertidur. Tengah malam beliau di kejutkan oleh sebuah pertanyaan yang keluar dari mulut sang ayah.

"Apa kabar pak Rahman? mengapa beliau tidak datang untuk mengunjungi saya yang sedang sakit?" tanya sang ayah dalam igaunya

Tidak begitu lama, kemudian sang anak menjawab, "Pak Rahman juga lagi sakit, Ayah."

Pak Rahman di kenal sebagai salah seorang jamaah tetap di masjid.

"Oh... lalu, kamu siapa? Anak pak Rahman ya?" tanya sang ayah kembali

"Bukan, ayah. Ini aku Zaid, anak ayah yang ke tiga."

"Ah, mana mungkin kamu Zaid? Zaid itu sibuk!!! Saya bayar pun dia tidak mungkin mau menunggu saya disini. Dalam pikirannya, kehadirannya cukup di gantikan dengan uang." ucap sang ayah yang masih dalam keadaan setengah sadar.

Mendengar penuturan sang ayah, Si anak tidak mampu berkata apa - apa lagi. Air matanya pun kemudian menetes membasahi pipinya dan emosinya terguncang.

Zaid sejatinya adalah seorang anak yang begitu peduli dengan orang tua. Sayangnya beliau bekerja di luar kota. Jadi jika sanga ayah sakit dalam keadaan yang tidak begitu berat, biasanya dia menunda kepulangannya dan memilih membantu dengan mengirimkan dana saja kepada ibunya. Dan yang bisa dia lakukan hanyalah menelpon ibunya saja, kemudian menanyakan kabarnya. Namun, tidak pernah terlintas di pikirannya, jika keputusan yang diambilnya itu ternyata meninggalkan bekas yang sangat dalam di hatii sang ayah.

Di waktu yang berbeda, penyakit sang ayah kembali kambuh, beliau batuk - batuk hebat di tengah malam. Sang anak yang melihat Ayahnya, langsung berlari dan menggosokkan minyak angin di dadanya, ada juga yang memijit mijit lembut. Akan tetapi, tangan si anak di tepis sesegera mungkin oleh sang ayah.

"Ini bukan tangan Istriku. Dimana Istriku?" tanya sang ayah.

"Ayah, ini kami. Anak - anakmu." jawab salah seorang anak.

"Tangan kalian kasar dan keras, pindahkan tangan kalian!!! Mana ibu kalian? Biarkan ibu kalian yang berada di sampingku. Kalian selesaikan saja urusan kalian seperti yang lalu - lalu."

Sekiranya, dua bulan yang lalu ketika sang ayah jatuh sakit, tidak pernah sedikitpun sang ayah mengeluh dan berkata seperti itu. Apa bila sang anak di tanya kapan pulang, dan sang anak berkata saya lagi sibuk dengan pekerjaannya, sang ayah hanya menjawab dengan jawaban yang sama. "Pulanglah kapan engkau tidak sibuk" kemudian beliau kembali ke aktivitasnya seperti biasa. Bekerja, sholat berjamaah, pergi ke pasar, bersepeda sendiri. Semua dilakukannya benar - benar sendiri. Mungkin beliau kesepian, puluhan tahun lamanya. Akan tetapi, beliau tidak mau mengakuinya di depan anak - anaknya.

Mungkin saja beliau butuh hiburan dan canda tawa dari anak - anaknya. Namun kini si anak sudah tumbuh dewasa dan sibuk dengan keluarganya. Mungkin saja beliau ingin menggenggam tangan seorang bocah kecil yang di pangkunya dulu sekitar 50 - 60 tahun yang lalu sembari membawanya berjalan ke pasar untuk sekedar di belikan kerupuk dan kembali pulang dengan senyuman lebar karena mendapat hadiah kerupuk. Namun bocah itu sekarang telah menjelma menjadi seorang pengusaha, guru, karyawan perusahaan, yang seolah - olah tidak pernah merasa senang bila beliau di ajak oleh beliau kepasar seperti dulu. seolah - olah seperti bocah - bocah yang sedang berkata, "Saya sibuk,,, saya sibuk. Anak saya begini, istri saya begini, pekerjaan saya begini." Lalu berharap sang ayah berkata. "Baiklah, ayah mengerti."

Kemarin siang, saya sempat meneteskan air mata ketika mendengar penuturan dari sang anak. Karena mungkin saya seperti sang anak tersebut, merasa sudah memberi perhatian lebih, sudah merasa menjadi seorang anak yang berbakti dan bisa membuat orang tua saya bangga. Namun siapa yang bisa menyangka, ternyata semua itu ternyata tidak sesuai dengan prasangka orang tua kita yang paling jujur.

Maka dari itu, sudah seharusnya kita,. Ya, Kita ini, yang sudah menikah, berkeluarga, memiliki anak, harus mampu melihat ibu dan bapak kita sebagai seorang sosok yang hanya ingin di bantu dengan yang namanya uang. Akan tetapi jika pikiran kita menyatakan hal demikian, maka pikirkan, apa bedanya ayah dan ibu kita dengan karyawan perusahaan?

Dan juga jangan sesekali kita melihat orang tua kita sebagai sosok yang hanya butuh di berikan baju baru dan di kunjungi setahun dua kali, karena bila itu yang ada di pikiran kita. Maka, tidak ada bedanya jika kita menganggap ayah dan ibu kita sebagai panitia sholat Idul Fitri dan Idul Adha yang kita temu setahun dua kali?

Wahai saudaraku yang arif, yang budiman, penyayang dan pengasih yang memiliki hati yang begitu lembut dengan cinta dan kepada anak - anaknya dan keluarganya, Lihat dan pandangilah ibu dan ayahmu di hari tuanya. Lihat dan pandangilah beliau selayak tatapan kanak - kanak kita. Singkirkan jabatan, serta gelar yang telah kita raih begitu juga dengan pekerjaan kita. Ketahuilah, orang tua kita tidak mencintai kita karena semua itu semua. Kembalilah menatap kedua orang tuamu selayak kamu kecil dan selalu berkata. "Kemana, Ayah, Bu?" atau "Kemana, Ibu, Ayah.?" kemudian menangis kencang setiap kali di tinggalkan oleh kedua orang tuanya.

Duhai dirimu yang selalu menangis kencang sewaktu kecil karena takut di tinggal Ayah dan Ibu., apakah dirimu tidak melihat dan perduli dengan tangisan dan jeritan kecil di hati Ayah dan Ibumu karena dirimu telah meninggalkan beliau bertahun - tahun dan hanya berkunjung setahun dua kali?

Sadarlah duhai jiwa - jiwa yang telah terlupa akan kasih dan sayang terhadap orang tua kita. Hal itu bisa saja terjadi, orang tua kita benar - benar telah menahan kerinduan kepada sosok jiwa kanak - kanak kita, yang selalu berharap bisa berjumpa dengan beliau tanpa jeda, tanpa adanya alasan sibuk kerja, tanpa alasan tiada waktu karena sibuk mengejar yang namanya "PRESTASI"

Siapkan dirimu dari sekarang, agar kelak ketika sang ayah dan ibumu berkata jujur tentang kita dan igauannya, beliau mengakui. bahwa betapa lelahnya, capeknya beliau menunggu kesadaran kita untuk bermanja - manja lagi kepada beliau.

Saya berharap semoga kisah ini bisa menjadi sebuah bahan renungan bagi kita semua.

Saya juga berharapsemoga kisah tersebut di atas bermanfaat bagi saya sendiri, buat calon anak - anak saya di kemudian hari dan buat saudara - saudara setia pengunjung blog sederhana saya ini. Salam Ukhuwah

Silahkan di share jika menurut anda semua coretan ini bermanfaat dan berguna untuk kita semua.

SUMBER KISAH : Hilman Rosyad Syihab
Saya kutip dari sebuah obrolan di group BBM Dakwah Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar