Rabu, 29 April 2015

Kisah Nyata - Adikku Malaikat Kecilku

Aku terlahir dari keluarga sederhana yang hidup di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Pekerjaan orang tuaku adalah seorang petani yang setiap harinya membajak tanah kering kuning. Aku memiliki seorang adik laki - laki yang umurnya hanya selisih tiga tahun dari ku.

Kisah ku ini bermula suatu ketika aku ingin membeli sepasang sapu tangan yang mana semua siswi di sekolahku membawanya. Namun, aku takut untuk meminta uang ke orang tuaku, dan aku pun memberanikan diri untuk mencuri uang sebesar Rp 5000 di laci Ayahku.

Naas, Ayahku begitu cepat mengetahui bahwa uang di lacinya telah berkurang Rp 5000. Kemudian Ayahku mengintrograsiku dan adikku. Dengan menyuruh kami berdua menghadap ke tembok dengan sebatang bambu di tangannya. "Siapa diantara kalian yang telah mencuri uang ayah di laci?" tanya Ayah kepadaku dan adikku. Namun aku takut untuk mengatakan bahwa akulah yang telah mengambil uang itu, karena kami berdua diam membisu kemudian Ayah melanjutkan perkataannya. "Baiklaah, kalau diantara kalian berdua tidak ada yang mau mengaku, aku akan memukul kalian berdua." Dia pun mulai mengangkat batang bambu yang berada di tangannya, yang menandakan kalau beliau ingin memukul kami berdua. Akan tetapi tiba - tiba Adikku mencengkran tangan Ayah dan berkata "Ayah, aku yang melakukannya."

Batang bambu panjang itu pun kemudian menghantam punggung adikku secara bertubi - tubi. Ayahku yang sangat marah terus memukuli adikku hingga lebam dan ada beberapa bagian di punggung adikku mengeluarkan cairan merah.

Setelah beliau merasa puas memukuli adikku, Ayah kemudian memarahi kami. "Sekarang kamu mencuri di rumah, nanti kalian akan mencuri di tempat orang lain. Hal memalukan apalagi yg akan kalian lakukan di luar sana di masa mendatang? Kamu layak menerima pukulan itu, bahkan aku tak akan menyesal jika harus memukulmu sampai mati. Kamu pencuri, tidak tahu malu." Ucap Ayah yang saat tu aku lihat ingin menangis dan kemudian pergi meninggalkan tempat itu.

Seperginya Ayah, aku dan ibuku kemudian memeluk adikku, tubuhnya penuh dengan luka. Akan tetapi dia sedikit pun tidak meneteskan air mata. Aku pun kemudian meraung sekuat - kuatnya. Namun, adikku dengan tangan kecilnya menutup mulutku dan berkata. "Kak, jangan menangis lagi. Sekarang semuanya sudah terjadi."

Semenjak saat itu, aku terus membenci diriku sendiri, karena aku tidak memiliki keberanian untuk membuka mulut dan mengakui semua perbuatanku. Bertahun - tahun kejadian itu telah berlalu, namun aku selalu merasa bahwa kejadian itu baru kemarin. Aku tidak bisa melupakan raut wajah adikku saat menerima hantaman bambu panjang dari Ayah yang talah melindungiku. Saat kejadian itu, aku berusia 11 tahun dan adikku 8 tahun.

Pada saat adikku lulus SMP dan ingin melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi yaitu SMA yang berada di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, Aku di terima untuk melanjutkan ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, Ayah berjongkok di halaman rumah dengan menghisap rokok tembakaunya.

Aku mendengar percakapan antara Ayah dan ibu "Yah, kedua anak kita telah memberikan hasil yang begitu baik, hasil yang di berikannya sangat memuaskan" ucap ibu yang saat itu mengusap air mata yang mengalir di kedua pipinya yang kemudian menghela nafas panjang dan melanjutkan kata - katanya. "Namun, apa gunanya nilai bagus? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai mereka berdua sekaligus." saat itu juga aku melihat adikku berjalan keluar dan menghampiri ayah dan berkata. "Ayah, aku sudah tidak mau lagi bersekolah, aku sudah banyak membaca buku." Mendengar penuturan adikku Ayah mengayunkan tangannya dan mendaratkannya ke wajah adikku, kemudian berkata. "Mengapa kau memiliki jwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika saya harus mengemis di jalanan, Ayah akan tetap menyekolahkan kalian berdua sampai selesai." Kemudian Ayah turun dan mulai mengetuk di setiap pintu rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku pun menghampiri adikku dan mulai menjulurkan tanganku selembut mungkin ke wajah adikku yang terlihat mulai membengkak, kemudian aku berkata. "Seorang anak laki - laki harus meneruskan sekolahnya, jika tidak dia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan."

Aku pun mulai menghentikan niatku untuk melanjutkan ke universitas. Namun, siapa yang mengira jika keesokan harinya, sebelum subuh. Adikku meninggalkan rumah dengan membawa beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Malam itu dia sempat menyelinap ke kamarku dan meletakkan secarik tulisan yang bertuliskan. "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Aku akan pergi mencari kerja dan mengirimimu uang untuk biaya pendidikanmu." Aku yang memegangi kertas itu di atas tempat tidurku, kemudian terus - terusan menangis sampai suaraku hilang. Saat itu adikku berusia 17 tahun dan aku 20 tahun.

Dengan uang yang ayah pinjam dari seluruh rumah yang ada di dusun tempat kami tinggal, dan uang yang di kirimkan oleh adikku dari hasil mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).

Pada suatu hari, aku yang sedang belajar di kamarku, di kejutkan oleh teman sekamarku yang mengatakan bahwa ada seorang penduduk dusun yang sedang menunggumu di luar sana. Aku pun berpikir keras, mengapa ada seorang penduduk dusun yang mencariku? Untuk menghapus rasa penasaranku, akupun beranjak keluar. Ternyata orang yang di sebut penduduk dusun oleh temanku itu adalah adikku. Aku juga melihat seluruh tubuhnya kotor tertutup debu semen dan pasir.

"Mengapa kamu tidak mengatakan kalau kamu adalah adikku kepada temanku?" tanyaku setibanya di depan adikku.

Dengan senyum yang polos dia menjawab "Kakak lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir setelah tahu kalau aku ini adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"

Aku merasa terenyuh dengan kata - kata adikku, tanpa aku sadari aku mulai mengeluarkan air mata dan menangis. Kemudian aku menyapu seluruh debu - debu yang menepel di tubuh adikku itu, kemudian aku berkata. "Aku tidak perduli dengan omongan orang, siapapun itu, apapun itu. Walau bagamanapun juga kamu adalah adikku. Bagaimanapun penampilanmu kamu adalah adikku."

Dari dalam sakunya, dia mengeluarkan sebuah jepit ramput berbentuk kupu - kupu, kemudian ia memakaikannya kepadaku, kemudian menjelaskannya kepadaku. "Aku melihat seluruh gadis kota memakainya. Jadi, aku pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku yang tidak bisa menahan diri lebih lama lagi langsung menarik adikku itu kedalam pelukanku dan menangis. Saat itu adikku berusia 20 tahun dan aku 23 tahun.

Aku memiliki seorang pacar, dan ini adalah pertama kalinya aku membawanya untuk bertamu kerumahku. Kaca jendela yang semula aku tahu sudah pecah, ternyata sudah di ganti semua. Bukan hanya itu, seluruh isi rumah juga sangat terlihat bersih. Sepulangnya pacarku, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk membersihkan rumah kita." ucapku kepada ibu.

Akan tetapi ibu hanya tersenyum kemudian dia menjelaskan. "Semua ini adalah kerjanya adikmu yang pulang lebih awal untuk membersihkan rumah ini. Apa kamu tidak melihat luka yang ada di tangannya? Ia terluka ketika mengganti semua kaca jendela itu." Aku pun kemudian berlari masuk ke ruangan kecil tempat adikku. Melihat mukanya yang begitu kurus, seratus jarum terasa menusuk tubuhku. Aku pun menggosokkan saleb ke lukanya. "Apakah itu sakit?" tanyaku

"Tiidak, Kak. Aku tidak merasakan sakit. Kakak tahu? Ketika aku bekerja di lokasi konstruksi, batu - batu berjatuhan di kakiku setiap waktu. Bahkan hal itu tidak membuatku untuk berhenti bekerja dan..." dia menghentikan perkataannya. Aku kemudian membalikkan tubuhku dan memunggunginya, seketika air mataku mengalir deras. Saat itu adikku berusia 23 tahun dan aku 26 tahun.

Saat aku menikah, aku ikut suamiku yang tinggal di kota. Aku dan suamiku sudah sangat lelah untuk mengajak keluargaku datang dan tinggal bersama kami, akan tetapi mereka tidak pernah mau. Alasannya, jika mereka meninggalkan dusun, mereka tidak tahu harus bekerja apalagi. Begitu juga dengan adikku, dia berkata "Kakak, jagalah saja mertuamu. Aku akan menjaga Ayah dan Ibu disini."

Suatu hari, Suamiku naik jabatan menjadi seorang direktur. Aku dan suamiku inginkan adikku mendapat pekerjaan sebagai manajer pada departeman pemeliharaan. Tetapi lagi - lagi adikku menolak niat baik kami.

Adikku bersikeras untuk bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari di atas tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, Ketika itu dia mendapat sengatan listrik dan masuk rumah sakit. Aku dan suamiku pergi kerumah sakit menjenguknya, melihat Gips putih berada di kakinya, aku menggerutu. "Mengapa kamu menolak untuk menjadi manajer? Kalau menjadi manajer tidak akan pernah mendapat pekerjaan yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, lukamu sangat serius. Mengapa kau tidak mau mendengarkan kakak dan abangmu?"

Dengan raut yang serius di wajahnya, dia membela keputusannya. "Kakak, pikirkan kakak ipar, ia baru saja menjadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menuruti permintaan kalian untuk menjadi manajer. Berita apa nantinya yang akan di dapatkan kakak ipar?" Mata suamiku seketika di penuhi dengan air mata. Aku pun kemudian mengeluarkan kata - kata. "Tapi kamu tidak berpendidikan juga karena aku!!!"

"Sudahlah, Kak. Jangan mengungkin masa lalu." Adikku kemudian menggenggam tanganku. Saat itu usianya 26 tahun dan aku 29 tahun

Setelah adikku menginjak usia 30 tahun, dia menikahi seorang gadis petani dari dusun di mana kami di besarkan. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya.

"Siapa orang yang paling kamu hormati dan kasihi dimuka bumi ini?"

Tanpa, bahkan mungkin tidak berpikir adikku menjawab. "Kakakku" kemudian dia melanjutkan dengan sebuah cerita usang yang bahkan aku sudah tidak mengingatnya. "Dulu, sewaktu saya dan kakakku ingin berangkat ke sekolah SD. Sekolah kami berada di dusun yang berbeda. Setiap hari aku dan kakakku harus berjalan kaki selama dua jam untuk pergi kesekolah dan pulang kerumah. Suatu hari, aku kehilangan satu dari kaus tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya menggunakan satu saja dan harus berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba dirumah, tangannya sangat gemetaran oleh cuaca yang begitu dingin, sampai - sampai ia tidak bisa memegang sendoknya. Sejak saat itu, saya kemudian bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."

Seketika suara tepuk tangan membanjiri tempat itu. Semua tamu kemudian memalingkan wajahnya ke arahku. Kata - kata yang sangat sulit terucap dari bibirku pun kemudian keluar. "Di dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mataku bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

Bisakah kita memiliki jiwa yang besar seperti si adik yang seperti di dalam kisah ini???
Tapi, walau bagaimanapun juga yang namanya saudara patut kita jaga dan hormati, apakah itu seorang adik atau seorang kakak. Karena apalah arti hidup kalau tidak bisa membahagiakan saudara dan keluarga kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar