Rabu, 15 April 2015

Kisah Nyata - Sedikit Harapan Siti

Udara sejuk masih dingin menyentuh dinginnya pagi, meski sinar sang mentari sudah panas menyeruak di antara dedaunan. Siti Nurjanah, sudah bersiap untuk pergi bersekolah. Terlihat dia sedang mengikat erat tali sepatunya sekuat mungkin. Karena untuk sampai kesekolahnya dia harus menempuh perjalanan sekitar 2 km.Namun hal ini tidak pernah menyurutkan harapannya untuk menuntut ilmu.

"Sekolah siti jauh, teman - teman siti naiik ojek. Siti mah jalan kaki tidak punya uang yang penting siti tetap sekolah walau pun harus jalan kaki." Itulah yang keluar dari mulut polos sang bocah saat di konfirmasi.

Sebelum berangkat kesekolah, Siti selalu menyempatkan diri untuk bertemu ibunya yang bekerja sebagai buruh kebun. Hanya untuk sekedar berpamitan.

Siti bersekolah di Sekolah Dasar 02 (SD 02) Cisero, saat ini ia duduk di bangku kelas 4. Disekolah Siti termasuk siswi yang tekun dalam mengikuti pelajaran. Dia juga tidak segan untuk bertanya kepada guru kalau ada pelajaran yang belum di pahaminya. Sayangnya karena banyak perlengkapan sekolah yang tidak ia miliki sering kali Siti terkendala di beberapa mata pelajaran. Untung saja sang guru mau memaklumi akan keadaan perekonomian keluarga Siti yang serba minim.


"Biasakan kalau pelajaran SBK, di beri tugas untuk membawa bahan - bahan untuk membuat keterampilan. Kadang siti tidak pernah membawa. Ya mungkin karena dia tidak mampu untuk membelinya. Siti hanya meminjam kepada temannya, kadang saya beri, saya beri pinjam buat siti, supaya belajarnya lebih lancar lagi." ungkap Sri Sulastri salah satu guru di sekolah Siti ini yang terlihat matanya berkaca - kaca saat di konfirmasi.

Nasib Siti memang sangat tidak beruntung seperti teman - temannya. Hal ini terlihat saat jam istirahat di mana teman - temannya terlihat sedang asyik melepas lelah dengan menyantap jajan di kantin sekolah pada saat jam istirahat, Siti hanya terlihat duduk termenung di teras depan kelasnya.


Sebenarnya dia pun pengen punya uang jajan, namun dia mengerti akan keuangan ibunya yang sangat terbatas.

Setiap pagi Khodijah, atau yang lebih akrab disapa Ijah (ibunya Siti). Memang selalu lebih awal pergi meninggalkan rumahnya untuk berkebun, kebun yang di garapnya adalah miliki tetangganya. Dia hanyalah seorang buruh bersih - bersih kebun, dia tidak menerima upah beruba uang, Ijah hanya di perbolehkan wanita (43) ini untuk ikut menanam singkong, talas, dan juga jagung di pinggir lahan perkebunan. Hasil yang dia tanam inilah yang nantinya akan ia panen yang hasilnya untuk ia makan sekeluarga dan juga ia jual. Suaminya sudah meninggal dunia Tujuh bulan lalu, setelah menderita penyakit struk selama tiga tahun. Sementara di rumah masih ada tiga anak yang menjadi tanggungannya.


"Ah, emak seadanya saya di kebun, kalau ada pisang dimakan, kadang di jual. Pisang satu tandannya 7000 rupiah tidak cukup untuk beli beras. Kerjaan hanya seperti ini, kalau ada yang membutuhkan tenaga saya, ya saya kerja. Kalau tidak ada ya saya dirumah saja. Saya sekeluarga juga makan tidak pakai nasi, Cuma pakai Singkong, Jagung, Ubi, Talas. Saya sudah tidak bekerja selama seminggu jadi seada - adany di kebun, metik singkong, jagung, ubi, talas." Itulah yg keluar dari mulut Mak Ijah saat di konfirmasi sambil mencabut pohon singkong untuk di jadikannya makan siang + makan malam ini di rumahnya bersama anaknya.

Untuk mendapatkan tambahan uang, terkadang Mak Ijah masuk ke hutan untuk mencari kayu bakar dan mengolah daun teh kalau ada pesanan dari tetangga.

Setiap hari selepas pulang sekolah dan mengganti pakaian sekolah. Siti selalu datang dan membantu ibunya bekerja. Bagi Mak Ijah kehadiran anak bungsunya sangat begitu berarti. Selain tenaga Siti bisa meringankan sedikit tenaganya, celoteh gadis kecil ini juga mampu menyuntikkan semangat baru baginya.

Karena ada sedikit pesanan teh, Mak ijah menyuruh Siti untuk memeting pucuk teh. Si pemilik kebun menizinkan sesekali memeting daun teh jika ada sedikit pesanan. Sekira daun teh yang di dapat sudah cukup Siti pun kembali ke arah Mak Ijah. Tepat sejak itu rintik - rintik hujan mulai membasahi dedaunan. Mak Ijah dan Siti pun bergegas untuk pulang.




Meski sudah bekerja seharian setibanya di rumah Mak Ijah tidak langsung beristirahat, dia harus segera mengolah pucuk - pucuk teh . Proses yang di lakukan Mak Ijah ini memang masih serba manual. Awalnya mak ijah Meremas - remas dan menggilas daun teh. Setelah hancur daun teh siap untuk di masak. Sebelumnya Mak Ijah harus menyiapkan tungku masaknya, Setelah di sulut kayu bakar harus di tiup menggunakan songsong atau sebilah batang bambu berukuran 30CM yang berlubang pada kedua ujungnya.

Setelah wajan di panaskan, serpihan daun teh pun harus segera di sangrai dan di aduk perlahan menggunakan tangan. Sementara Sitii terus menerus meniup songsong pada tungku. Karena dalam proses ini nyala api harus terus terjaga besar.


Setelah satu jam daun teh berubah warna menjadi kecoklatan dan mengering, yang artinya teh buatan Mak Ijah sudah jadi. Setelah didingnkan beberapa saat, daun teh di kemas menggunakan kantong plastik yang berukuran 1/2kg. Dari dua bungkus teh pesanan tetangganya ini, Mak Ijah hanya mendapatkan Rp 3000 Rupiah.

Setiap kali mak ijah membuat Teh biasanya hanya mendapatkan uang Rp 5000 Rupiah, uang tersebut di belikan Lilin 2 buah, tuk beli sabun seribu rupiah, untuk belanja Siti seribu rupiah kalau dapat lima ribu.

Sementara itu Lilis (Putri ke dua Mak ijah) Demi membantu sang ibu, Gadis berusia 16thn ini bekerja sebagai asisten rumah tangga harian. Dulu ia sudah pernah sekolah di kelas dua tsanawiyah atau setara kelas dua smp. Meski sering terlintas keinginan untuk duduk di bangku sekolah namun ia sadar kalau perekonomian keluarganya untuk ikut mencari nafkah.



Sejak pukul 06:00pagi hingga pukul 04:00 sore Lilis bertugas membersihkan rumah, memasak, menjaga anak dan menyetrika pakaian dengan upah 11.000 Rupiah. Penghasilan Lilis inilah yang biasa di pakai untuk menutupi kebutuhan sehari - hari.

"Ya, untuk pendidikan aku, aku masih.. cuman dari smp, pengen sekolah lagi, tapi gimana aku harus bantu orang tua. Kalau di lanjutin aku gak punya biaya, untuk melanjutkan sekolah. Cuman bisa membantu orang tua. Setiap hari aku di upah 11.000 Rupiah, itu Rp 11.000 Rupiah juga gak cukup buat makan sama keluarga, kalau gak cukup ya makan yang sudah ada, jarang makan nasi, gak dapat nasi." sambil meneteskan airmata Lilis mengucapkan kata - kata itu saat di konfir masi.

Sementara itu Putri sulung Mak Ijah yang bernama Deti, gadis berusia 18 thn inilah yang bertugas membereskan rumah saat Mak Ijah dan adiknya bekerja.

Keluarga ini memang sangat jarang untuk menyantap nasii, karena uang dari menjual teh tidak pernah cukup untuk membeli beras. Sementara waktu itu sudah terlihat di sudut dapur Siti sudah tidak sanggup menahan rasa laparnya.

Karna sering terlambat makan, Siti sering kali bahkan hampir setiap hari merasakan sakit perut. Jika Maagnya kambuh, Mak Ijah tidak pernah mengantarnya ke PUSKESMAS karena jaraknya teramat jauh dari rumahnya, Mak Ijah juga tidak memiliki uang untuk membayar dokter. Hanya sebotol air hangat yang yang bisa di siapkan Mak ijah sebagai obat penahan nyeri lambung putrinya ini.


Malam telah tiba, kegelapan pun menyelimuti seisi rumah, dengan di terangi oleh lampu tradisional Siti belajar mengaji dan mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) dari sekolahnya di damping sang kakak Lilis.

Rumah inimemang belum mendapat penerangan listrik. Upah bekerja Lilis tiap harilah yang di pakai untuk membeli minyak bahan bakar lampu. Meski dengan penerangan seadanya, Siti tetap semangat belajar, karena dia memiliki sebuah cita - cita mulia untuk menjadi seorang guru. karena baginya kalau menjadi Guru, dia bisa memiliki uang untuk di berikan kepada Emaknya.

Hampir setiap hari hanya sepiring Ubi rebus yang menjadi santapan Mak Ijah dan ketiga putrinya. Tanpa nasi atau pun lauk pauk sebagai penyemarak santapan. Meski demikian keluarga ini masih tetap bersyukur, karena mereka masih dapat makan hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar