Selasa, 14 April 2015

Kisah Nyata - Ketabahan Hati Abah Ujuk Si Tukang Sepatu

Dalam setiap guratan wajah tua pria tua ini tersimpan kisah getir dalam memperjuangkan hidup. Harta benda yang sempat di milikinya dahulu telah habis untuk mengobati penyakit istri pertamanya. Dulu dia pernah meminta sedikit bantuan kepada mertuanya untuk membantu sedikit buat membiayai istrinya yang tengah sakit. Namun hasilnya Nihil. Mertuanya tidak bisa membantunya. Makanya dia menjual barang - barang berharga yang berada di rumahnya, bukan hanya barang - barang berharga, bahkan rumahnya juga ikut terjual demi mengobati almarhum istri pertamanya.

Kini di usia senjanya, kesulitan ekonomi terus membelit tanpa henti, bersama Ibu Oneng istri keduanya dia mencoba tegarkan langkah menata masa depan.

Namanya Ujuk atau lebih akrab di sapa oleh warga setempat dengan panggilan Abah Ujuk. Enam puluh delapan tahun memang sudah tidak terbilang muda untuk menjadi pekerja. Tubuh tuanya sering kali merasakan sakit, namun apa boleh buat kebutuhan ekonomi mengharuskan Abah Ujuk untuk terus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

"Kalau saya tidak bekerja, dimana saya bisa dapat mencukupi biaya hidup sehari - hari. Karena ada cucu, ibunya sudah bekerja dua minggu belum mendapatkan bayaran tetap. Jadi abah terpaksa membantu - bantu. walaupun abah sekarang sudah tidak kuat lagi, tangannya suka terasa nyeri, tapi di paksakan saja untuk bekerja. Belum bayar kontrakan setiap bulan, keperluan gas, listrik, Abah cuma mengharapkan dari membuat sepatu." begitulah jawaban Abah Ujuk dalam logat bahasa sunda yang kental saat di konfirmasi.

Demi menghemat biaya untuk menuju ke tempat dia bekerja Abah Ujuk rela berjalan kaki  sekitar Dua Kilometer. Rute yang di tempuh mengharuskan dia melewati rumah lamanya. Terkadang dia merasakan kesedihan yang teramat sangat sakit jika melihat rumah lamanya. Karena rumah itu baginya adalah kenangan manis yang berujung kedukaan, di rumah inilah ia pernah tinggal bersama istri dan anak - anak dari istri pertamanya. Ketika ia masih bekerja di bandung, istrinya terkena struk parah. Rumah dan beberapa barang berharga pun habis di jual, namun tragis nyawa sang istri tidak bisa tertolong. Kini semua hanyalah menjadii kenangan, tak ada gunanya ia sesali apa yang telah terjadi, demi masa depan ia harus tetap tegarkan langkah.




Kota Garut Jawa Barat memang di kenal sebagai kota penghasil aneka ragam kerajinan tangan yang terbuat dari bahan baku kulit hewan. Hasil kerajinan tangan dari kota garut sudah terkenal bahkan ke mancanegara. Usaha berbagai macam kerajinan tangan iniilah yang menjadi nafas untuk beberapa warga sekitar. Rumah usahapembuatan sepatu kulit di ranggalawe kabupaten garut salah satu tempat pengrajin usaha sepatu kulit. Karena masih dalam skala kecil, rumah usaha ini hanya khusus membuat sepatu kulit dari pesanan dari pelanggan saja. Awalnya usaha yang berdiri sepuluh tahun ini mempekerjakan sepuluh orang, namun karena kesulitan bahan baku, kini hanya tinggal mempekerjakan dua orang saja. Disinilah Abah Ujuk bekerja.

Memproduksi sepatu kulit memang bukan hal baru bagi Abah Ujuk, dulu di bandung Abah Ujuk pernah bekerja di pabrik pembuatan sepatu. Berbekal pengalaman itulah Abah Ujuk kini menjadi pengrajin sepatu kulit.





Saat bekerja sering kali tangan Abah Ujuk di serang oleh rasa nyeri, ia pun terpaksa beristirahat sejenak. Penyakit rheumatik ini memang sudah sejak lama dia derita, dulu pernah sekali di bawanya kedokter. Namun karena keterbatasan ekonomi ia kini hanya mengobati penyakitnya itu dengan cara tradisional.


"Abah sakit sudah Lima bulan. Kadang saat kerja tangan Abah di hangatkan menggunakan kompor, kadang kalau di rumah Abah masukkan ke dalam air hangat. Lebih baik jika di berikan parutan jahe, baru Abah bisa tidur. Jam satu biasa bangun, jam Empat turun lagi ke masjid untuk bersih - bersih."

Dari setiap pasang sepatu Abah Ujuk di upah Enam Ribu Rupiah (Rp 6000). Bekerja sejak pukul 07 : 00 pagi sampai pukul 05 : 00 sore. Tiap harinya dia hanya mampu menyelasaikan Tiga hingga Lima pasang sepatu setiap hari. Selain mendapat upah/gaji yang pas - pasan bekerja sebagai pembuat sepatu di rumah usaha yang kecil - kecilan ini juga tak mampu memberinya jaminan penghasilan setiap hari. Terkadang meski sudah datang ke tempat kerja Abah Ujuk bisa saja tidak mendapatkan penghasilan sama sekali dalam seminggu, hal ini terjadi biasanya di saat musim hujan, karena bahan kulit yang menjadi bahan utama pembuatan sepatu sangat sulit di dapat.

Pintu rezeki dari yang maha kuasa memang sering datang dari mana saja, terjika sedang beruntung dalam perjalanan pulang kerumah, terkadang ada saja tetangga yang meminta Abah Ujuk untuk memperbaiki sepatu, dia juga tidak pernah mematok harga upah jasanya. Berapapun yang di berikan selalu saja ia terima dengan penuh rasa syukur.

Nur Laila atau yang kerap di sapa Nur, adalah anak bungsu Abah Ujuk dan Oneng. Setiap pagi ia selalu datang untuk menitipkan kedua buah hatinya ke Oneng. Sudah dua minggu Nur di terima bekerja sebagai buruh pabrik.

"Walau pun Nur ikut kerja. Tetapi tetap saja tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup. Untungnya bapak masih ada kerja sedikit - sedikit. Ya lumayan untuk bantu - bantu." begitulah pengakuan Nur saat di konfirmasi.

Menjaga cucu di usia senja tentu bukan hal yang mudah. Apalagi Santi dan Alfin bocah yang berusia Empat dan Dua tahun ini memang cukup aktif. Meski begitu Oneng tidak pernah merasa keberatan. Wanita berusia 65tahun ini sangat mengerti dengan keadaan anaknya Nur. Suaminya hanyalah sebagai buruh pabrik garmen dengan penghasilan pas - pasan.

Bagi pasangan suami istri ini bergabagi tugas dan tanggung jawab sudah menjadi kebiasaan sehari - hari. Jika Abah Ujuk kebetulan pulang siang. Oneng mendapat panggilan bekerja dari tetangga maka tugas untuk menjaga cucunya ini pun di ambil alih olehnya.

Disaat Santi dan Alfin sedang asyik bermain, Abah Ujuk memanfaatkan waktunya untuk memperbaiki sepatu milik tetangga. Menjadi asisten rumah tangga paruh waktu, sudah biasa di lakoni Oneng, demi menambah pemasukan keluaraga. Namun pekerjaan seperti ini tidak setiap hari ia dapatkan. Oneng biasanya bertugas membersihkan rumah, mencuci piring dan menyetrika pakaian dengan upah sebelas belas ribu rupia (Rp 11.000) perhari.

Dengan upah Abah Ujuk yang tidak menentu, membuat Oneng terkadang tidak memiliki uang untuk membeli keperluan dapur. Beruntung masih ada pemilik warung yang mau memberikannya hutang. Dari hasil bekerja sebagai pembatu paruh waktu inilah dia bisa membayar hutang tersebut.

"Uangnya untuk membayar hutang, kalau ada sisanya untuk beli beras. Untuk beli yang lain - lain tak ada uangnya cuma segitu - gitunya."

Karena keterbatasan biaya, Mak Oneng hanya mempergunakan jahe untuk mengobati penyakit Abah Ujuk, Mak Oneng biasa memanfaatkan jahe yang murah meriah untuk mengobati rasa nyeri dan sakit yang di derita oleh Abah Ujuk. Caranya dengan memarut dua bongkol jahe kemudian di balutkan ke tangan Abah Ujuk.

Abah Ujuk dan Emak Oneng, paham betul, bahwa hidup adalah perjuangan tanpa akhir meski kesulitan ekonomi terus membelenggu keduanya saling mendukung satu sama lain dalam ketabahan dan keikhlasan hati.

Terus mengeluh tak akan ada artinya, malah hanya akan mengurangi pahala, karena hidup harus terus di jalani. Meski cobaan datang silih berganti.Abah Ujuk dan Emak Oneng yakin, sang khalik tak akan pernah memberikan cobaan yang tak bisa di lewati oleh umatnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar