Senin, 13 April 2015

Kisah Nyata - Perjuangan Hidup Ryan Si Bocah 8 Tahun

Sejak usia baru hitungan bulan bulan, bocah malang bernama lengkap Ryan Febriansyah ini memang sudah di asuh oleh sang nenek. Karena perekonomian yang sangat sulit Ibunya pun harus pergi bekerja ke luar kota. Sementara sejak bercerai, sang Ayah pun langsung melepas tanggung jawab. Jangankan untuk memberikan nafkah sehari - hari, untuk jajan dan kebutuhan sekolah pun tidak pernah ia berikan.

Kehilangan sosok ayah sebagai pencari nafkah, memaksa Ryan harus hidup mandiri. Tanpa perduli resiko terbawa arus, ia berburu ikan di sungai. Selain mencari ikan ia juga membuat mainan tradisional bebedilan (mainan tembak - tembakan yang terbuat dari batang bambu.

Untuk membantu si nenek, Ryan sering mencari ikan ke sungai, ikan - ikan yang di dapatnya bukan untuk di jual melainkan untuk meringankan beban belanja si nenek, yaitu sebagai lauk makan nasi.

Tanpa di bekali alat apapun Ryan berenang dan menyelam berburu ikan di celah - celah batu dimana tempat ikan - ikan kecil di sungai, dia harus jeli dengan keberadaan arus air pasang dan surut di sungai. Untuk mengakali gerakan ikan - kan yang lincah, tangan mungilnya itu harus benar - benar jeli dan lincah. Belum lagi dia harus melawan dinginnya air sungai.

Bila sedang beruntung, Ryan bisa mendapatka Tiga atau Lima ekor ikan di sungai. Namun baginya seberapapun ikan yang dia peroleh, baginya bisa membawa sedikit ikan dan kebahagiaan bagi sang nenek yang sudah dianggap sebagai orang tuangnya.

"Saya sering mencari ikan untuk lauk makan Emak (Nenek) kasian emak kasian emak tidak punya uang untk belanja (Beli ikan untuk lauk). Cara mencari ikan itu harus menceburkan diri ke sungai, mencari di sela - sela batu, terus di tangkap, kemudian di bawa ke atas di batu kemudian di matikan. Ikan yang bisa di dapat ikan nila dan mujaer, ikan jenis itu saja yang bisa aku berikan ke Emak. Jumlah yang di dapatkan juga tidak menentu. Aku mencari ikan hanya pada saat air sungai surut saja, aku tidak takut tenggelam karena sudah terbiasa." itulah sebuah pengakuan dari sosok si kecil Ryan dengan logat sundanya yang begitu kental.

Bagi Rukmini (sang nenek yang di panggil Emak oleh Ryan). Ryan adalah cucu kesayangannya, bahkan di saat Ryan masih bayi, wanita yg akrab di sapa mini ini rela menyusui Ryan, karena di tinggal ibunya pergi bekerja di luar kota. Menerima hasil tangkapan ikan Ryan si Nenek ini sering di datangkan rasa haru bercampur khawatir, karena dia tak ingin si cucu di landa bahaya.

"Karena tidak seperti di kolam yang bisa di pancing. Kalau di sungaikan saya merasa cemas dan takut dia terbawa arus sungai." Begitulah jawaban sang nenek dengan logat sundanya saat di konfirmasi.

Setelah siap mengganti bajunya, Ryan bocah malang ini pun berpamitan ke nenenknya untuk mencari batang bambu untuk membuat Bebedilan. Untuk mendapatkan bambu Ryan harus memasuki hutan, bambu yang bisa di buat bebedilan adalah bambu yang tidak terlalu tua dan juga muda, yang jelas berukuran kecil. Setelah merasa cukup, saatnya untuk membawa bambu - bambu tersebut keluar dari hutan.




Sebelum di buat, bambu - bambu itu harus di bersihkan dulu bulu - bulunya yang menyebabkan gatal. Setelah itu bambu di potong sekitar 20cm hingga 25cm. Karena bambu - bambung itu masih tergolong muda, sehingga harus memiliki keterampilan dan cara dalam pemotongannya. jika kita memotongnya tergesa - gesa bambu bisa pecah. cara pemotongnya harus di gores sedikit demi sedikit.

Membuat bebedilan, awalnya Ryan hanya sekedar seng saja, namun karena banyak di minati oleh teman - temannya lama kelamaan timbullah ide untuk menjualnya. Dalam sehari biasanya Ryan bisa membuat Lima sampai Sepuluh buah bebedilan yang nantinya akan di jual seharga Seribu Rupiah (Rp 1000).

Sementara itu, Rukmini (Nenek) tidak pernah mau menyerah kepada nasib, dia terus memutar otak mencoba beberapa peruntungan untuk mendapat pundi rupiah untuk bisa mencukupi kebutuhan hidup si cucu. Mulai dari mencari botol bekas untuk di jual ke pangadah sampai membuat urap singkong untuk di jajahkannya ke pelosok kampung.


Karena modal yang terbatas, dalam membuat urap daun singkong. Si nenek terpaksa mengutang ke warung - warung yang berada di sekitar rumahnya, setelah urapnya laku terjual baru dia melunasinya.

Dalam sekali memasak urap, terkadang Rukmini mampu membuat Tiga belas hingga lima belas pincu urap daun singkong. Urap daun singkong buatannya ini di jualnya dengan harga Seribu Rupiah (Rp 1000) perpincu, terkadang dia juga menjualnya seharga Lima Ratus Rupiah (Rp 500) dia tak mau mengambil untung banyak, baginya yang terpenting dagangannya laku.

"Kalau pun terkadang hanya menghasilkan Sepuluh pincu urap saya jual. Kalau habs saya jadikan sebagai modal lagi untuk membeli bumbu - bumbu dan lain - lain. Kalau tidak habis saya dan Ryan jadikan sebagai lauk untuk makan sebagai sayur dan lauknya juga." begitulah penuturan sang nenek dalam logat sunda.

Meskipun hanya bermodal menu yang sederhana yang tersaji. Ryan tidak pernah mengeluh, karena dia amat mengerti dengan keadaan dan beban yang di tanggung oleh neneknya seorang diri. Ikan goreng hasil tangkapannya dan urap daun singkong buatan neneknya lah yang menjadi menu yang lebih dari cukup bagi mereka berdua, paling tidak inilah rezeki yang di berikan oleh tuhan yang selalu bisa untuk di syukurinya, bagaimanapun kondisi mereka saat ini.

"saya paling sering makan pakai sayur urap daun singkong buatan Emak, lauknya juga urap. Sebenarnya saya juga pengen makan pakai daging, ikan tongkol, daging ayam, pokoknya lauk pauk saja." Ucap Ryan saat di konfirmasi.

"Mak, bapak kemana? kenapa tidak pernah pulang." begitulah sekilas pertanyaan yang keluar dari mulut polos si bocah.

Karena tak tega dia pun terpaksa melakukan kebohongan - kebohongan kecil.

"Bapak tidak ada, ke warung, sudah jangan di pikirkan kamu makan saja yang benar." Begitulah sikap si nenek yang tidak ingin melukai hati si buah hati.

"Saya sudah menganggap Ryan sebagai anak saya sendiri, saya mengasuhnya dari kecil. Tapi saya hibur dia, saya usap kepalanya, dan saya katakan kepadanya kalau rezeki itu bsa datang dari mana saja jadi jangan sedih. Karena Allah itu maha adil."

Karena tidak punya tempat penampungan air, untuk mencuci piring dan baju pun terpaksa di lakukan di pinggiran sungai. Sedangkan untuk di minum terkadang mereka harus meminta bahkan membelinya dengan tetangganya.

"Rumah ini tanah orang lain, bukan milik saya. Saya sudah tidak punya tanah, karena tanah warisan dulu sudah di jual. Rumah ini di bangun juga dari hasil gotong royong tetangga dan saya juga di perbolehkan tinggal oleh yang punya tanah. Harapan saya ke Ryan nanti kalau sudah besar, sayang dan tidak lupa dengan saya. Bisa mendapat pekerjaan yang mapan dan yang paling penting dia tidak lupa saja ke saya."

"Saya selalu mendoakan Emak supaya sehat dan panjang umur. Harapan saya semoga bisa bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi supaya bisa menjadi pilot."



Tidak ada komentar:

Posting Komentar