Panas mentari sangat menyngat menyuntuh kulit, Waktu sudah menunjukkan tepat pukul 10:30 Pagi. Di sebuah komplek perumahan terlihat ada seorang anak yang tengah sibuk mengusap keringat yang bertanda di dahinya, setelahsibuk menawarka dagangannya. Sudah tiga hari ini, Jati menghabiiskan waktu liburannya dengan berjualan susu kedelai buatan ibunya. ia berkeliling di komplek perumahan yang tidak begitu jauh dari kampungnya. Sebelum susu dagangangannya habis, Jati belum mau pulang.
Sekilas terlintas di ingatannya, akan wajah melas adiknya. Asih adik satu - satunya itu sekarang tengah terbaring sakit. Jati memang ingin mengumpulkan uang sekedar untuk membelikan obat untuk adiknya, yang kini sedang terbaring lemah tak berdaya. Hanya itu yang bisa dilakukan Jati. Mengingat ayahnya yang hanya bekerja sebagai buruh serabutan tidak mampu untuk membawa Asih ke dokter, apalagi rumah sakit.
Dulu Asih pernah di bawa ke rumah sakit karena penyakit radang paru - paru yang di deritanya. Namun, sebelum penyakitnya itu tuntas, Asih pun di bawa pulang karena tak kuat menanggung biaya rumah sakit yang begitu mahal.
"Alhamdulillah, daganganku hari ini laris. Sekarang aku bisa pulang." Gumamnya dalam hati. Sambil menghitung uang yang berhasi ia kumplkannya hari ini. "Dua puluh lima ribu rupiah. Yess, itu tandanya aku bisa menyisihkan sedikit uang untuk membeli obat Asih. Sabar ya, dek. Aku akan terus berdo'a dan berusaha untuk kesembuhanmu. Supaya nanti kita bisa bermain bersama - sama lagi.
Jati terus berjalan menyusuri komplek untuk menuju ke rumahnya. "Ini adalah hari yang menyenangkan bagiku, karena susu buatan kedelai buatan ibu sudah terjual habis. Dan nanti sore aku bisa kembali menjajahkan minuman kesehatan buatan ibu. Dan siang ini aku masih sempat untuk bermain layang - layang bersama teman - teman di lapangan. Sungguh liburan yang sangat menyenangkan." ucapnya perlahan
Di tengah perjalanan pulang, kaki Jati menyampar sebuah dompet "Dompet siapa ya?" tanyanya dengan penuh keheranan. Di bukanya dompet tersebut "Masyaallah, banyak sekali uangnya." seketika tangan Jati menjadi gemetaran. Karena dia belum pernah melihat uang sebanyak itu. Kemudian Dia menoleh kearah kanan dan kiri, tidak ada seorang pun yang berada disana. Keringat panas dingin mendadak bercucuran di dahinya. "Aku belum pernah memegang uang sebanyak ini" gumamnya dalam hati. "Dompet ini punya siapa ya?" Kemudian dia pun memasukkan dompet tersebut kedalam kresek hitam yang saat itu di bawanya.
Di tengah perjalanan, Jati terus membayangkan. Seandainya saja uang ini miliknya, tentu ia dan keluarganya tidak perlu bersusah payah demi kesembuhan adiknya Asih. Di dalam hatinya berbisik. "Ambillah uang itu, toh tidak ada yang tahu kalau kamu menemukan uang itu. Jangan di kembalikan kepada pemiliknya. Pasti ia orang kaya dan bisa dengan mudah mencari uang lagi. Sedangkan kamu? Waktu liburanmu saja kau gunakan untuk berkeliling komplek untuk menjajakan susu kedelai demi selembar uang dua puluh ribuan. Ayo, ambillah. Batin Jati terus bergejolak, namun dia akhirnya beristighfar. "Astaghfirullah, kenapa pikiranku sepicik ini? Bukankah uang ini bukan milikku. Walau pun aku menemukan uang ini tidak ada yang melihat, yang punya pasti sangat merasa kehilangan." Kemudian dia pun akhirnya mempercepat langkahnya agar segera tiba di rumah.
"Assalamualaikum" ucap Jati ketika memasuki gubuk tuanya.
"Waalaikum salam" jawab ibunya.
"Bu, ibu... Aku menemukan ni bu." ucap Jati kepada ibunya yang membukakan pintu.
"Kenapa tho le, kok teriak - teriak? Muka kamu kenapa pucat sekali, Nak?"
"Aku, menemukan dompet, Bu" kata Jata sambil mengulurkan dompet yang di temukannya tadi.
"Dimana kamu menemukannya, Le?" tanya ibunya
"Di komplek perumahan, sepulang aku berjualan, Bu. Aku tidak tahu ada berapa banyak uang di dalam dompet ini, yang pasti banyak sekali, Bu."
Ibunya terkejut mendengar cerita anaknya itu, dengan terengeh - engah Jati pun kembali melanjutkan ceritanya "Aku tidak tahu bu, dompet ini punya siapa. Dan aku belum sempat membuka seluruh isinya. Aku takut, Bu. Di tengah keterbatasan kita, kita menjadi gelap mata dan ingin memiliki yang bukan hak kita, makanya aku bergegas pulang untuk bercerita kepada, Ibu."
Ibunya sangat terkejut setelah melihat isi dompet yang begitu banyak. "Masyaallah, pasti yang punya sangat merasa kehilangan uang ini, Le. Coba kamu lihat dan cari identitas atau tanda pengenal yang berada di dalam dompet itu, Le." Sergah ibu Jati.
"Ini, Bu. Ada KTP dengan nama DR.HERYAWAN SpOG. alamatnya di jl.Melati Blok C Nomer 5A perum Limas. Pasti dompet ini miliknya, Bu"
"Baiklah, mari kita kerumahnya, pasti dokter Heryawan sangat kehilangan."
Bergegas ibunya Jati mematikan kompor di dapurnya. "Air ini sudah mendidih dan nasi juga sudah tersedia, jika nanti ayahmu pulang dan kita tidak ada di rumah semua sudah terhidang. Ibu akan menitip pesan ke Asih, biar nanti jika ayahmu pulang dia tahu kalau kita sedang pergi ke rumah dokter Hermawan." Tukas ibu Jati. Dengan sigap dia membereskan seluruh pekerjaannya di dapur.
"Tapi, Bu" ucap Jati
"Kenapa, Nak? Apa yang kamu pikirkan?"
"Kita kan bisa mengambil beberapa lembar saja dari uang itu. Pemiliknya pasti tidak akan tahu dan dia pasti akan dengan mudah untuk mencarinya kembali. Kan dia orang kaya?" dengan terbata - bata Jati berucap.
"Istighfar, Nak. Allah pasti akan marah jika kita melakukan hal ini. Ingatlah ini bukan milk kita, bukan hak kita, meskipun kita sangat membutuhkannya. Ayolah bergegas kita kerumah pemilik dompet ini. Karena nanti ibu harus menyiapkan susu kedelai untuk kamu jual sore nanti." ucap ibu Jati dengan nada tinggi.
"Astaghfirullah, Baiklah bu." ucap Jati dengan sesal.
Jati dan ibunya berjalan di komplek perumahan Limas untuk mencari alamatdokter Hermawan. Bukan hal sulit bagi Jati dan ibunya untuk menemukan rumah dokter Hermawan. Toh hampir seluruh komplek perumahan ini sudah pernah di jajahi Jati.
"Ini pasti rumahnya bu, dr.Hermawan Jl.Melati Blok C 5A Perum Limas. Wah bagus sekali rumahnya, asri dan sangat bersih."
"Assalamualaikum" Ibunya Jati mengucap salam.
Tidak lama kemudian dibukalah pintu dan terlihat sosok seorang bapak memakai kaca mata.
"Waalaikum salam, ada yang bisa saya bantu, Bu.? Anda mencari siapa?" tanyanya
"Apa benar ini rumah bapak Hermawan?"
"Betul, Bu. Saya dokter Hermawan, silahkan masuk, dan silahkan duduk, Bu."
"Terima kasih" kemudian ibu dan anak itu pun masuk kedalam rumah dokter Hermawan. Mata Jati tidak berhenti - hentinya memandang ke sekeliling ruang tamu dokter Hermawan. "Begini, Pak. Anak saya Jati pagi tadi ketika pulang dari berjualan menemukan dompet ini, Pak. Dan di dalam dompet kami menemukan identitas nama bapak dan sejumlah uang yang kami tidak membuka seluruh isinya" tutur ibu Jati memberikan penjelasan kepada dokter Hermawan.
"Oh, iya. Benar, Bu. Saya memang kehilangan dompet pagi tadi. Isinya identitas saya dan beberapa surat - surat penting. Berarti, Nak Jati ini yang menemukannya." ungkap sang dokter sekaligus pemilik dompet yang di temukan Jati tadi pagi.
"Betul, Pak. Tadi pagi kaki saya menyampar sesuatu. Ternyata itu dompet" ungkap Jati sambil menyerahkan plastik hitam berisikan dompet.
"Iya, benar sekali ini milik saya, Alhamdulillah masih rezeki saya. Isinya juga masih utuh. Terima kasih banyak ya, Nak Jati dan Ibu. Berkat, Nak Jati uang dan surat - surat penting itu masih utuh." ucap dokter heryawan dengan nada bersyukur. "Saya boleh tahu, Ibu tinggal dimana? Dan, Nak Jati berjualan apa di komplek ini?"
"Saya sekeluarga tinggal di kampung sebelah pak. Tidak jauh dari komplek perumahan ini. Dirumah, saya membuat susu kedelai untuk di jual Jati di sekitar komplek ini" Jawab ibu Jati. "Baiklah, Pak. Kami segera pamit." ibu Jati berpamitan.
"Tunggu sebentar, Bu." dokter Heryawan masuk kedalam, dan tidak begitu lama akhirnya dia kembali keluar dengan membawa bungkusan plastik berwarna hitam. "Ini ada sekedar oleh - oleh buat keluarga ibu di rumah dan ini untuk, Nak Jati" dokter Heryawan menyerahkan bungkusan plastik kepada ibu Jati dan menyerahkan amplop kepada Jati.
"Tak usah repot - repot, Pak. Ini sudah menjadi kewajiban kami." jawab ibu Jati sambil berpamitan.
"Tidak apa - apa, Bu. sekedar ucapan terima kasih. Dan saya akan sangat senang jika ibu bersedia menerimanya. Jangan lupa sering - seringlah bertandang ke rumah ini."
"Baiklah, Pak. Terima kasih kami akan segera berpamitan pulang"
:Ya, bu terima kasih kembail. Tapi sebentar bu, biar saya antarkan pulang." ucap sang dokter.
"Tidak usah, Pak. Khawatir merepotkan saja. Sekali lagi terima kasih. Rumah kami juga tidak terlalu jauh kok. Assallamualaikum."
Disepanjang perjalanan pulang, Jati tak henti - hentinya mengucap syukur dan terus berterima kasih. Bukan karena lantaran dia mendapatkan amplop yang di terimanya tadi. Akan tetapi ia bersyukur karena dia telah di berikan seorang ibu yang sangat luar biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar