Rabu, 13 Mei 2015

Kisah Nyata - Surat Usang

Aku sangat membencinya. Benar - benar benci. Laki - laki paruh baya itu, yang seharusnya amat ku cintai dan satu - satu orang yang ku miliki setelah kepergian ibuku, malah ku benci mati - matian.

Aku selalu pulang larut malam. Bagiku berada di rumah itu bagakan di neraka. Hanya ada satu alasan, karena di rumah ada orang itu, dan setiap kali ia memergokiku pulang larut malam, ia langsung memarahiku habis - habisan. Ucapannya yang panjang lebar itu sia - sia, buang - buang tenaga saja. Karena, aku tidak pernah sekali pun menghiraukan apa yang telah ia ucapkan, malahan aku menutup rapat kupingku, seolah - olah tak ada orang yang berbicara kepadaku.

Entah setan apa yang telah merasuki diriku sehingga aku begitu membencinya. Dia adalah Ayahku, Ayah kandungku sendiri. Akan tetapi, apa pantas aku memanggilnya Ayah? Dulu dia telah membuangku dan Ibuku, sementara itu dia menikah lagi dengan seorang perempuan yang jauh lebih muda dan lebih cantik dari ibuku. Kemudian tiba - tiba ia datang kembali ke dalam kehidupan kami setelah wanita itu pergi meninggalkannya. Apa pantas Laki - laki yang tidak bertanggung jawab ini aku panggil Ayah? Kemana saja dia selama ini?

Aku dan ibuku, bersusah payah bertarung di jalanan untuk bertahan hidup, tanpa sepeser pun uang. Jika kami mendapat sebungkus nasi kami sangat bersyukur.Ayah macam apa yang begitu tega membiarkan anak dan istrinya hidup di jalanan yang penuh dengan mobil - mobil yang berseliweran, sementara dirinya enak - enakan duduk manis, enak - enakan bersantai ria di rumah bersama wanita yang tidak tahu diri itu tanpa sedikit pun memikirkan keadaanku dan ibuku. Ku tanyakan sekali lagi, apa pantas dia ku panggil Ayah?

Pada akhirnya di suatu malam, emosiku pun memuncak. Waktu itu aku mencoba untuk melunakkan sedikit hatiku untuk makan malam bersamanya. Kami pun berbincang - bincang soal masa depanku, karena tidak lama lagi aku akan lulus dari SMA dan akan melanjutkan ke sebuah perguruan tinggi. Dia memaksaku untuk mengambil jurusan Ekonomii manajemen dengan alasan untuk meneruskan bisnisnya. Tapi, sedari kecil aku memiliki cita - cita untuk menjadi seorang seniman.

Aku pun menolak idenya itu dan mengatakan pendapatku untuk mengambil jurusan Kesenian. Tapi apa yang terjadi? Dia memarahiku habis - habisan, menghina impianku, mencaci maki impian yang sedari kecil aku impikan. Dia malah mengatakan kalau aku benar - benar sinting dan bodoh masuk ke Fakultas Kesenian.

Ku katakan kepadanya. "Aku sudah besar, aku bisa menetukan kehidupanku sendiri. Ini hidupku, hakku sendiri untuk menentukan kemana aku akan melangkah selanjutnya. Aku bukan robot yang bisa kau perintah kesana kemari.

Mendengar jawabanku yang kukuh dengan pendirianku, dia malah mengancam kalau dia tidak akan membiayai kuliahku. Namun, tantangannya yang ia berikan aku balas dengan Broken Home.

Hidupku kembali seperti dulu lagi, berjuang sendirian. Berjuang sendiri demi untuk mendapatkan kehidupan. Aku bebas. Bebas menggapai semua impianku yang sedari dulu ingin ku gapai.

Sampai akhirnya Dua tahun berlalu. Tiba - tiba, ia datang mengetuk pintu kamar kostku. Namun, penampilan lelaki ini berubah drastis dari Dua tahun yang lalu. Matanya begitu cekung. Mungkin karena kurang tidur. Badannya begitu kurus dan terlihat mulai keriput. Kemana wajah yang angkuh dan sombong yang biasa ia tampilkan itu? Hanya expresi sendu yang dapat ku lihat dari wajahnya saat itu. Akan tetapi, rasa kesal dan amarahku masih sangat besar pada saat itu. Ketika melihatnya, aku langsung mengusirnya dari rumahku. Namun, sikap keras kepalanya sama sekali tidak berubah. Ia tetap berdiri disana, tak bergeming sedikitpun dari tempat itu. Rasa kesalku bertambah, ku dorong badannya menjauhi pintu, kemudian aku pergi menjauh. Ya, Tuhan. Betapa keras kepala ayahku ini. Dengan fisik rentanya ia masih mencoba mengejarku. Dan aku pun terpaksa mempercepat langkahku, berlari menyebrangi jalan raya yang tepat berada di depan kamar kost ku.

Yang aku tahu, saat itu sebuah mobil box sedang melaju kencang ke arahku. Saat aku menyadari hal itu, aku hanya pasrah dan tiba - tiba semuanya menjadi gelap.

Saat aku membuka mata, aku mengira bahwa diriku tengah terbang ke alam lain sana, tetapi tidak. Kenyataannya aku masih terduduk di pinggir trotoar, sementara itu. Warga semakin ramai berkerumunan di depanku. Rasa penasaranku membuatku bangkit dan melihat apa yang telah terjadi.

Di dalam pandanganku, aku melihat laki - laki itu terkapar bersimbah darah. Tak terasa air mataku menggenang, bahuku mulai mengguncang keras. Entah mengapa seketika tangiisku mengalir deras tanpa bisa di tahan. Rasa takut akan kehilangan menjalari seluruh tubuhku. Untuk pertama kalinya, aku menyadari kalau aku menyayangi Ayahku.

Secepatnya aku membawanya ke rumah sakit. Namun, karena pendarahan di otaknya yang begitu parah, akibat kecelakaan itu, yang telah menyelamatkan nyawaku. Dia tak tertolong, nyawanya tak bisa di selamatkan.

Sebagai anak satu - satunya, tentu saja hanya aku yang bisa meneruskan usaha ayahku ini. Dua hari setelah kematian ayahku, aku langsung pergi ke kantor, untuk mengurus semua keperluan yang di butuhkan untuk menggantikan ayahku di perusahaannya. Aku masuk ke dalam ruangan ayahku untuk membereskan barang - barang peninggalannya. Dan aku melihat sebuah surat usang yang menarik perhatianku dari dalam laci mejanya. Ku buka dan ku baca perlahan. Nafasku tertahan membaca setiap kalimat dalam surat itu...

".... Anakku tersayang, Ardi. Dimana kamu sekarang? Ayah kangen sama kamu. Apa kamu masih ingat ayah? Pasti kamu sudah besar sekarang. Maafin ayah, Nak. Maafin ayah. Ayah pergi meninggalkanmu dan ibumu. Ayah menterlantarkanmu. Maafin ayah. Ayah nggak biisa menemanimu tumbuh dewasa. Ayah nggak pernah memberimu semangat saat kamu bertanding bola sama teman - temanmu. Ayah juga nggak pernah menemanimu bermaiin, Ayah nggak pernah melakukan apa yang di lakukan oleh seorang ayah kepada anaknya. Ayah minta maaf, Nak. Ayah benar - benar minta maaf. Meninggalkanmu dan ibumu adalah kesalahan terbesar yang pernah ayah lakukan..."

Bercak tetes air mata ayah masih tercetak di kertas itu, yang membuatku menyadari kesalahan terbesarku. Membenci Ayah, seseorang yang dulu sangat kurindukan kehadirannya. Kunantikan kasih sayang serta pelukannya. Kini semua telah terlambat. Aku benar - benar terlambat menyadarinya, bahwa sebenarnya aku sayang ayahku, bahwa sebenarnya aku butuh kasih perhatian dan kasih sayangnya seperti anak - anak lainnya. Lantas aku mengutuki diriku. Tuhan, mengapa penyesalan selalu datang terlambat?

Kisah Nyata Ini Di Kirim Oleh Ardi Andarsyah melalui BBM.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar