Kamis, 30 April 2015

Kisah Nyata - Penerimaan Tanpa Syarat

Saya adalah seorang ibu dari tiga orang anak dan saya juga beru saja menyelesaikan kuliah saya. Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah Sosiologi. Sang dosen sangat inspiratif, dengan kualitas yang saya harapkan setiap orang memilikinya. Tugas terakhir yang di berikan kepada para siswanya di beri nama "SMILING" di mana seluruh siswa diminta untuk pergi ke luar dan memberikan senyumnya kepada tiga orang asing yang di temuinya dan mendokumentasikan reaksi mereka. Setiap siswa di minta untuk mempresentasikan di depan kelas.

Saya adalah tipe seorang yang periang, mudah bersahabat dan selalu tersenyum kepada setiap orang. Jadi, saya pikir tugas ini sangatlah mudah.

Setelah saya menerima tugas tersebut, saya bergegas menemui suami saya dan anak bungsu saya yang sedang menunggu saya di halaman kampus. Kami berencana mengunjungi sebuah restoran McDonald's yang berada di sekitaran kampus.

Suasana pagi yang sangat dingin dan kering. Pagi itu suami saya sedang ingin mengantri untuk masuk, saya sela dan memintanya agar menjaga si bungsu sambil mencari tempat duduk yang masih kosong. Ketika saya masih dalam antrian, menunggu untuk dilayani, mendadak setiap orang yang berada di dalam antrian menyingkir, bahkan yang berada di antrian belakang saya juga. Suatu perasaan panik menguasai saya, ketika saya berbalik dan melihat mengapa mereka menyingkir? Dan di saat itulah saya mencium sebuah aroma yang tidak enak sekali di cium bau badan yang sangat menyengat di indra penciuman saya dan ketika itu juga saya mendapati ada dua orang tunawisma yang sangat dekil!!! Saya, bingung dan tidak mampu bergerak sama sekali. Ketika saya menunduk, tanpa sengaja mata saya menangkap laki - laki yang lebih pendek, yang berdiri lebih dekat dengan saya. Laki - laki itu pun kemudian tersenyum kepada saya. Lelaki ini memiliki mata yang sangat biru, sorot matanya begitu tajam, namun tatapan itu juga memancarkan sebuah kasih sayang. Pria itu pun melirik ke saya, seolah - olah dia meminta agar saya mau menerima kehadirannya di tempat itu. Dia pun kemudian menyapa saya "Good day" sambil tetap tersenyum dan menghitung beberapa koiin yang telah di siapkannya untuk membayar makanan yang nanti akan di pesannya. Secara sontan saya pun kemudian membalas senyumannya, kemudian saya pun teringat akan TUGAS yang di berikan oleh dosen saya. Sementara itu lelaki yang kedua sedang memainkan tangannya dengan gerakan aneh berdiri tepat di belakang temannya.

Aku pun akhirnya menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi menta, dan lelaki yang memiliki mata biru itu adalah penolongnya. Saya merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrian yang tadinya sangat panjang sekarang hanya tinggal kami bertiga dan akhirnya saya pun telah sampai ke counter. Seketika wanita muda di counter itu pun menanyakan kepada saya, apa yang ingin saya pesan. Saya pun mempersilahkan kedua lelaki itu untuk memesan duluan. Lelaki bermata biru segera memesan "Kopi saja, satu cangkir nona." Ternyata dari koin yang telah terkumpul hanya itulah yang mampu di beli oleh mereka. (Ya, memang begitulah peraturan di restoran disini, jika ingin menghangatkan tubuh , maka orang harus membeli sesuatu). Dan kelihatannya orang ini hanya ingin menghangatkan badan.

Seketika saya di serang oleh rasa iba yang membuat saya sempat terpaku beberapa saat, sambil mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk yang jauh dari tamu yang lain, yang hampir semua orang sedang mengamati mereka.Pada saat bersamaan, saya baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga sedang tertuju ke arah saya, dan pasti melihat semua tindakan saya.

Saya baru tersadar ketika petugas counter itu menyapa saya untuk yang ketiga kalinya menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya kemudian tersenyum dan meminta dua paket makan pagi dalam nampan yang terpisah. Setelah membayar semua pesanan saya, kemudian saya pun meminta bantuan kepada petugas lain yang ada di counter itu untuk mengantarkan nampan pesanan saya ke meja (tempat duduk suami dan anak saya). Sementara saya membawa nampan lainnya berjalan melingkari sudut kearah meja yang telah dipilih kedua lelaki tadi untuk beristirahat. Saya pun kemudian meletakkan nampan berisi makanan itu di atas mejanya, kemudian meletakkan tangan saya di atas punggung telapak tangan dingin lelaki bermata biru itu, sambil saya berucap. "Makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua" Kembali lelaki yang memiliki mata biru itu menatap saya, kini mata itu mulai basah berkaca - kaca dan dia hanya mampu berkata "Terima kasih banyak, nyonya."

Saya mencoba untuk tetap menguasai diri saya dan menepuk bahunya sambil berkata. "Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian, Tuhan juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu kepada saya untuk menyampaikan makanan in kepada kalian." Mendengar ucapan saya, si mata biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kedua sambil terisak - isak. Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu. Saya pun tidak sanggup lagi menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan anak saya yang berada tidak jauh dari tempat duduk mereka.

Saat saya duduk suami saya mencoba meredam tangis saya sambil tersenyum dan berkata "Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku, yang pasti untuk memberikan keteduhan bagi diriku dan anak - anakku." Kami pun akhirnya berpegangan tangan. Saat itu kami benar - benar bersyukur dan menyadari bahwa hanya karena 'bisikannya' lah kami telah mampu memanfaatkan kesempatan untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan. Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran dan di susul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu persatu menghampiri meja kami, untuk sekedar ingin 'berjabat tangan' dengan kami. Salah satu diantaranya, seorang bapak, dia memegangi tangan saya dan berkata "Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal kepada kami semua yang berada disini, jika suatu saat saya di beri kesempatan olehNYA, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi kepada kami" Saya hanya bisa berucap "Terima kasih" sambil tersenyum.

Sebelum beranjak pergi meninggalkan restoran, saya menyempatkan untuk melihat kearah kedua lelaki itu dan seolah ada magnit yang menghubungkan bathn kami, mereka langsung menoleh kearah kami sambil tersenyum dan melambai - lambaikan tangannya kearah kami.

Didalam perjalan pulang, saya merenungkan kembali apa yang telah saya lakukan terhadap kedua tunawisma tadi, itu benar - benar 'tindakan' yang belum pernah terpikirkan oleh saya. Pengalaman hari itu menunjukkan kepada saya betapa 'kasih sayang' Tuhan itu sangat HANGAT dan INDAH sekali. Saya kembali ke college, pada hari terakhir kuliah dengan cerita di tangan saya. Saya kemudian menyerahkan paper saya kepada dosen saya. Dan keesokan harinya, sebelum memulai kuliah saya di panggil dosen saya ke depan kelas, ia melihat kepada saya dan berkata "Bolehkah saya membagikan ceritamu ini kepada yang lain?" dengan senang hati saya mengiyakan.

Ketika akan memulai kuliahnya dia meminta perhatian dari kelas untuk membacakan paper saya. Ia mulai membaca, para siswa pun mendengarkan dengan seksama cerita sang dosen, dan ruangan kuliah menjadi sunyi. Dengan cara dan gaya yang dimiliki sang dosen dalam membawakan ceritanya, membuat para siswa yang hadir di ruang kuliah itu seolah ikut melihat bagaimana sesungguhnya kejadian itu berlangsung, sehingga para siswi yang duduk di deretan belakang dekat saya diantaranya datang memeluk saya untuk mengungkapkan perasaan harunya. Diakhir pembacaan paper tersebut, sang dosen sengaja menutup ceritanya dengan mengutip salah satu kalimat yang saya tulis diakhr paper saya "Tersenyumlah dengan HATImu, dan kau akan mengetahui betapa 'dahsyat' dampak yang di timbulkan oleh senyummu itu."

Dengan caranya sendiri, Tuhan telah menggunakan diri saya untuk menyentuh orang - orang yang ada di McDonald, suamiku, anakku, guruku, dan setiap siswa yang menghadiri kuliah di malam terakhir saya sebagai mahasiswi. Saya lulus dengan 1 pelajaran terbesar yang tidak pernah saya dapat di bangku kuliah manapun, yaitu. "PENERIMAAN TANPA SYARAT" Banyak cerita tentang kasih sayang yang dapat di tulis untuk bisa di resapi oleh para pembacanya, namun bagi siapa saja yang sempat membaca dan memaknai cerita ini diharapkan dapat mengambil pelajaran bagaimana cara 'Mencintai sesama, dengan memanfaatkan sedikit harta benda yang kita miliki, dan bukannya mencintai harta benda yang bukan milik kita, dengan memanfaatkan sesama!' Jika anda pikir bahwa cerita ini menyentuh hati anda, teruskan cerita ini kepada orang - orang terdekat anda. Disini ada 'Malaikat' yang akan menyertai anda, agar setidaknya orang yang membaca cerita ini akan tergerak hatinya untuk bisa berbuat sesuatu (sekecil apapun) bagi sesama yang sedang membutuhkan uluran tangannya.


Kisah Nyata - Segunung Asa Hilang Di Terpa Badai

Kisah Nyata ini di kirimkan oleh salah satu teman atau salah seorang pengunjung blog saya ini. Kisah berikut di kirimkan melalui Email saya yunusman01.ym@gmail.com kisah ini di kirimkan ke email saya pada tgl 28-04-2015. Saya mohon maaf karena saya baru sempat membuka dan mengecek email masuk, dan saya juga mohon maaf, karena saya merubah gaya tulisnya. Karena, menurut saya tulisan yang dikirimkan ke email saya sangat berantakan dan tidak memiliki EYD. namun setiap bahasa dan penyampaiannya tetap sama, hanya saja tulisannya yang saya ubah.

Aku adalah seorang pemuda yang mencintai seorang janda yang memiliki anak Dua (2), Aku berhubungan dengannya kurang lebih Dua tahun, perjalanan hubungan ku dengan dia berjalan lancar. Akan tetapi pada akhirnya hubunganku dengannya berakhir dengan perpisahan. 

Aku sangat menyayanginya, begitu juga dengan dia begitu menyayangi aku dan juga keluargaku. Mungkin di karenakan jodoh kami hanya sampai disini, makanya kami di pisahkan oleh sang maha tahu.

Selama kami menjalani hubungan kami yang sudah Dua (2) tahun, kami sering membicarakan soal pernikahan, dan pada akhirnya aku memutuskan untuk mencari sebuah pekerjaan. Dengan dalih aku bekerja untuk mencari uang untuk modal perkawinanku dengannya. 

Aku merantau ke kalimantan selama satu tahun, dan selama setahun juga dia selalu menghubungi aku melalui sms atau via telpon, dan selama itu juga aku selalu merindukannya. 

Akhirnya aku bisa mengumpulkan uang yang aku pikr itu sudah cukup untuk biaya pernikahan kami, dan akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke kampung halamanku, kemudian melamarnya untuk ku jadikan istriku yang sah. Berbagai asa bergelimangan di pikiranku saat itu, jika aku pulang ke kampung dan bertemu dengannya, aku ingin memeluknya dan menciumnya.

Sesampainya aku di kampung halamanku, aku langsung menuju ke rumah calon istriku. Namun di tengah perjalanan aku bertemu dengan anak pacarku, yang saat ini sudah berusia 14 tahun saat itu dia menyapaku.

"Aa, kapan pulang?" tanyanya yang memang sudah mengetahui hubunganku dengan ibunya. Dan dia pun merestui hubungan kami.

"Baru saja, Aa sampai. Dan sekarang, Aa ingin bertemu dengan, Emakmu. Emak sekarang dimana?" 

 "Memang, Aa gak tahu. Emak ada dimana?"

Aku merasa aneh dengan jawaba yang di berikan anak itu, kemudian aku pun kembali bertanya. "Aa, beneran gak tahu, dedek. kenapa ya selama Tiga hari ini, Emak tidak pernah sms atau telpon, Aa?"

Mendengar ucapanku anak itupun kemudian menangis dan memelukku. "Aa, Emakku sudah gak ada"

"Apa maksudmu dedek.?"

"Emak, meninggal Empat hari yang lalu, Aa"

"Apa, dedek. Kamu kalau ngomong yang benar. Jangan asal - asalan."

"Sumpah, Aa. dedek kira. Aa tahu prihal kepergian, Emak."

"Tidak, ada yang memberitahukan perihal ini ke Aa dedek."

Aku tidak menyangka kalau secepat ini dia pergi meninggalkan aku, Aku baru sadar beberapa hari hp dia tidak pernah aktif mungkin ini sebabnya dia dari semua itu. Pantas saja terakhir dia telpon aku, aku merasa ada yang aneh dengan kata - katanya, dia bilang gini ke aku.

"Yank, terima kasih banyak atas semua yang sudah kamu berikan ke aku. Aku merasakan kasih sayang kamu, cinta kamu, dan semua yang sudah kamu berikan ke aku. Aku merasakan kebahagiaan saat bersamamu. Yank, kebaikanmu, ketulusanmu, yang sudah kamu berikan ke aku akan berakhir, dan aku tidak bisa membalas semua yang sudah kamu berikan sama aku. Impian yang kita harapkan selama ini pun tidak akan pernah terjadi. Karena aku akan pergi jauh dari kamu dan orang - orang yang aku sayangi. Aku akan mendo'akanmu agar hidupmu bahagia, lebih dari saat kamu bersamaku. Aku mencintai kamu dan menyayangi kamu." Setelah dia mengatakan itu, aku los kontak dengannya.

Aku berharap semoga kejadian ini tidak terulang lagi, cukup sekali ini saja aku merasakan betapa sakitnya di tinggal orang yang paling aku sayangi.


Kisah Nyata Menginspirasi - Ada Pengorbanan Di Setiap Ketidak Perdulian

Suatu suatu hari di rumah sakit, terbaring seorang bocah kira - kira berusia sekitar 13 tahun. Bocah itu harus segera di operasi.Namun, dokter yang menangangi atau yang bertanggung jawab atas operasi anak tersebut belum juga datang.

Setelah beberapa menit setelah di telpon oleh suster. Terlihatlah dari kejauhan sang dokter yang menangi operasi si bocah sangat tergesa - gesa untuk masuk ke ruang operasi.

Namun, karena kesal Ayah dari si bocah menghampiri dan bertanya kepada sang dokter. "Kenapa lama sekali, anda baru sampai kesini? Apakah anda tidak mengetahui bahwa nyawa anak saya sedang terancam jika tidak segera di operasi?'' ucap sang Ayah dengan nada kesal.

Sang dokter kemudian tersenyum, lalu menjawab "Maaf, Pak, saya sedang tidak berada di Rumah Sakit tadi. Akan tetapi saya secepatnya datang kesini setelah di telpon oleh pihak Rumah Sakit." setelah sang dokter membela diri, kemudian dia bergegas ke ruang operasi.

Setelah beberapa jam keluarlah sang dokter dengan wajah tersenyum. "Syukurlah kondisi anak anda kini sudah stabil." tanpa menunggu jawaban sang Ayah. Dokter kemudian melanjutkan omongannya. "Suster akan membantu anda jika ada yang ingin anda tanyakan." kemudian sang dokter pun berlalu meninggalkan tempat itu.

"Kenapa dokter itu angkuh sekali? Seharusnya dia memberikan penjelasan mengenai keadaan anak saya!!!" Sang Ayah bertanya kepada suster yang ada di tempat itu.

Sambilmeneteskan air mata suster pun kemudian menjelaskan. "Dokter itu sedang dalam musibah pak. Anaknya kecelakaan kemarin sore, dan nyawanya tidak dapat di selamatkan. Tadi ketika kami menelponnya untuk melakukan operasi anak bapak, beliau sedang menguburkan jenazah anaknya. Sekarang anak anda sudah selamat. Dia bisa kembali berkabung."

Sedikit Pesan Moral :

Jangan pernah terburu - buru dalam menilai seseorang. Pahami dan maklumilah setiap jiwa di sekeliling kita. Mereka punya misi dan visi masing - masing yang berbeda - beda.

Ingatlah...

Di setiap senyuman akan ada air mata dan di balik air mata akan ada senyuman. Ada kasih sayang di setiap amarah. Ada pengorbanan di setiap ketidak perdulian. Ada harapan di sebalik setiap kesakitan dan akan ada kekecewaan di setiap derai tawa.

Semoga bermanfaat dan bisa menjadikan kita sebagai pribadi yang BIJAKSANA dan BERSYUKUR dengan apa yang di berikan sang maha pencipta dalam hidup ini.

Ingatlah, Setiap manusia mempunyai dan memiliki porsi dan masalah masing - masing... TERSENYUMLAH dalam menghadapi porsi yang di berikan kepada anda.

Rabu, 29 April 2015

Kisah Nyata - Adikku Malaikat Kecilku

Aku terlahir dari keluarga sederhana yang hidup di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Pekerjaan orang tuaku adalah seorang petani yang setiap harinya membajak tanah kering kuning. Aku memiliki seorang adik laki - laki yang umurnya hanya selisih tiga tahun dari ku.

Kisah ku ini bermula suatu ketika aku ingin membeli sepasang sapu tangan yang mana semua siswi di sekolahku membawanya. Namun, aku takut untuk meminta uang ke orang tuaku, dan aku pun memberanikan diri untuk mencuri uang sebesar Rp 5000 di laci Ayahku.

Naas, Ayahku begitu cepat mengetahui bahwa uang di lacinya telah berkurang Rp 5000. Kemudian Ayahku mengintrograsiku dan adikku. Dengan menyuruh kami berdua menghadap ke tembok dengan sebatang bambu di tangannya. "Siapa diantara kalian yang telah mencuri uang ayah di laci?" tanya Ayah kepadaku dan adikku. Namun aku takut untuk mengatakan bahwa akulah yang telah mengambil uang itu, karena kami berdua diam membisu kemudian Ayah melanjutkan perkataannya. "Baiklaah, kalau diantara kalian berdua tidak ada yang mau mengaku, aku akan memukul kalian berdua." Dia pun mulai mengangkat batang bambu yang berada di tangannya, yang menandakan kalau beliau ingin memukul kami berdua. Akan tetapi tiba - tiba Adikku mencengkran tangan Ayah dan berkata "Ayah, aku yang melakukannya."

Batang bambu panjang itu pun kemudian menghantam punggung adikku secara bertubi - tubi. Ayahku yang sangat marah terus memukuli adikku hingga lebam dan ada beberapa bagian di punggung adikku mengeluarkan cairan merah.

Setelah beliau merasa puas memukuli adikku, Ayah kemudian memarahi kami. "Sekarang kamu mencuri di rumah, nanti kalian akan mencuri di tempat orang lain. Hal memalukan apalagi yg akan kalian lakukan di luar sana di masa mendatang? Kamu layak menerima pukulan itu, bahkan aku tak akan menyesal jika harus memukulmu sampai mati. Kamu pencuri, tidak tahu malu." Ucap Ayah yang saat tu aku lihat ingin menangis dan kemudian pergi meninggalkan tempat itu.

Seperginya Ayah, aku dan ibuku kemudian memeluk adikku, tubuhnya penuh dengan luka. Akan tetapi dia sedikit pun tidak meneteskan air mata. Aku pun kemudian meraung sekuat - kuatnya. Namun, adikku dengan tangan kecilnya menutup mulutku dan berkata. "Kak, jangan menangis lagi. Sekarang semuanya sudah terjadi."

Semenjak saat itu, aku terus membenci diriku sendiri, karena aku tidak memiliki keberanian untuk membuka mulut dan mengakui semua perbuatanku. Bertahun - tahun kejadian itu telah berlalu, namun aku selalu merasa bahwa kejadian itu baru kemarin. Aku tidak bisa melupakan raut wajah adikku saat menerima hantaman bambu panjang dari Ayah yang talah melindungiku. Saat kejadian itu, aku berusia 11 tahun dan adikku 8 tahun.

Pada saat adikku lulus SMP dan ingin melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi yaitu SMA yang berada di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, Aku di terima untuk melanjutkan ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, Ayah berjongkok di halaman rumah dengan menghisap rokok tembakaunya.

Aku mendengar percakapan antara Ayah dan ibu "Yah, kedua anak kita telah memberikan hasil yang begitu baik, hasil yang di berikannya sangat memuaskan" ucap ibu yang saat itu mengusap air mata yang mengalir di kedua pipinya yang kemudian menghela nafas panjang dan melanjutkan kata - katanya. "Namun, apa gunanya nilai bagus? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai mereka berdua sekaligus." saat itu juga aku melihat adikku berjalan keluar dan menghampiri ayah dan berkata. "Ayah, aku sudah tidak mau lagi bersekolah, aku sudah banyak membaca buku." Mendengar penuturan adikku Ayah mengayunkan tangannya dan mendaratkannya ke wajah adikku, kemudian berkata. "Mengapa kau memiliki jwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika saya harus mengemis di jalanan, Ayah akan tetap menyekolahkan kalian berdua sampai selesai." Kemudian Ayah turun dan mulai mengetuk di setiap pintu rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku pun menghampiri adikku dan mulai menjulurkan tanganku selembut mungkin ke wajah adikku yang terlihat mulai membengkak, kemudian aku berkata. "Seorang anak laki - laki harus meneruskan sekolahnya, jika tidak dia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan."

Aku pun mulai menghentikan niatku untuk melanjutkan ke universitas. Namun, siapa yang mengira jika keesokan harinya, sebelum subuh. Adikku meninggalkan rumah dengan membawa beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Malam itu dia sempat menyelinap ke kamarku dan meletakkan secarik tulisan yang bertuliskan. "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Aku akan pergi mencari kerja dan mengirimimu uang untuk biaya pendidikanmu." Aku yang memegangi kertas itu di atas tempat tidurku, kemudian terus - terusan menangis sampai suaraku hilang. Saat itu adikku berusia 17 tahun dan aku 20 tahun.

Dengan uang yang ayah pinjam dari seluruh rumah yang ada di dusun tempat kami tinggal, dan uang yang di kirimkan oleh adikku dari hasil mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).

Pada suatu hari, aku yang sedang belajar di kamarku, di kejutkan oleh teman sekamarku yang mengatakan bahwa ada seorang penduduk dusun yang sedang menunggumu di luar sana. Aku pun berpikir keras, mengapa ada seorang penduduk dusun yang mencariku? Untuk menghapus rasa penasaranku, akupun beranjak keluar. Ternyata orang yang di sebut penduduk dusun oleh temanku itu adalah adikku. Aku juga melihat seluruh tubuhnya kotor tertutup debu semen dan pasir.

"Mengapa kamu tidak mengatakan kalau kamu adalah adikku kepada temanku?" tanyaku setibanya di depan adikku.

Dengan senyum yang polos dia menjawab "Kakak lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir setelah tahu kalau aku ini adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"

Aku merasa terenyuh dengan kata - kata adikku, tanpa aku sadari aku mulai mengeluarkan air mata dan menangis. Kemudian aku menyapu seluruh debu - debu yang menepel di tubuh adikku itu, kemudian aku berkata. "Aku tidak perduli dengan omongan orang, siapapun itu, apapun itu. Walau bagamanapun juga kamu adalah adikku. Bagaimanapun penampilanmu kamu adalah adikku."

Dari dalam sakunya, dia mengeluarkan sebuah jepit ramput berbentuk kupu - kupu, kemudian ia memakaikannya kepadaku, kemudian menjelaskannya kepadaku. "Aku melihat seluruh gadis kota memakainya. Jadi, aku pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku yang tidak bisa menahan diri lebih lama lagi langsung menarik adikku itu kedalam pelukanku dan menangis. Saat itu adikku berusia 20 tahun dan aku 23 tahun.

Aku memiliki seorang pacar, dan ini adalah pertama kalinya aku membawanya untuk bertamu kerumahku. Kaca jendela yang semula aku tahu sudah pecah, ternyata sudah di ganti semua. Bukan hanya itu, seluruh isi rumah juga sangat terlihat bersih. Sepulangnya pacarku, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk membersihkan rumah kita." ucapku kepada ibu.

Akan tetapi ibu hanya tersenyum kemudian dia menjelaskan. "Semua ini adalah kerjanya adikmu yang pulang lebih awal untuk membersihkan rumah ini. Apa kamu tidak melihat luka yang ada di tangannya? Ia terluka ketika mengganti semua kaca jendela itu." Aku pun kemudian berlari masuk ke ruangan kecil tempat adikku. Melihat mukanya yang begitu kurus, seratus jarum terasa menusuk tubuhku. Aku pun menggosokkan saleb ke lukanya. "Apakah itu sakit?" tanyaku

"Tiidak, Kak. Aku tidak merasakan sakit. Kakak tahu? Ketika aku bekerja di lokasi konstruksi, batu - batu berjatuhan di kakiku setiap waktu. Bahkan hal itu tidak membuatku untuk berhenti bekerja dan..." dia menghentikan perkataannya. Aku kemudian membalikkan tubuhku dan memunggunginya, seketika air mataku mengalir deras. Saat itu adikku berusia 23 tahun dan aku 26 tahun.

Saat aku menikah, aku ikut suamiku yang tinggal di kota. Aku dan suamiku sudah sangat lelah untuk mengajak keluargaku datang dan tinggal bersama kami, akan tetapi mereka tidak pernah mau. Alasannya, jika mereka meninggalkan dusun, mereka tidak tahu harus bekerja apalagi. Begitu juga dengan adikku, dia berkata "Kakak, jagalah saja mertuamu. Aku akan menjaga Ayah dan Ibu disini."

Suatu hari, Suamiku naik jabatan menjadi seorang direktur. Aku dan suamiku inginkan adikku mendapat pekerjaan sebagai manajer pada departeman pemeliharaan. Tetapi lagi - lagi adikku menolak niat baik kami.

Adikku bersikeras untuk bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari di atas tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, Ketika itu dia mendapat sengatan listrik dan masuk rumah sakit. Aku dan suamiku pergi kerumah sakit menjenguknya, melihat Gips putih berada di kakinya, aku menggerutu. "Mengapa kamu menolak untuk menjadi manajer? Kalau menjadi manajer tidak akan pernah mendapat pekerjaan yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, lukamu sangat serius. Mengapa kau tidak mau mendengarkan kakak dan abangmu?"

Dengan raut yang serius di wajahnya, dia membela keputusannya. "Kakak, pikirkan kakak ipar, ia baru saja menjadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menuruti permintaan kalian untuk menjadi manajer. Berita apa nantinya yang akan di dapatkan kakak ipar?" Mata suamiku seketika di penuhi dengan air mata. Aku pun kemudian mengeluarkan kata - kata. "Tapi kamu tidak berpendidikan juga karena aku!!!"

"Sudahlah, Kak. Jangan mengungkin masa lalu." Adikku kemudian menggenggam tanganku. Saat itu usianya 26 tahun dan aku 29 tahun

Setelah adikku menginjak usia 30 tahun, dia menikahi seorang gadis petani dari dusun di mana kami di besarkan. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya.

"Siapa orang yang paling kamu hormati dan kasihi dimuka bumi ini?"

Tanpa, bahkan mungkin tidak berpikir adikku menjawab. "Kakakku" kemudian dia melanjutkan dengan sebuah cerita usang yang bahkan aku sudah tidak mengingatnya. "Dulu, sewaktu saya dan kakakku ingin berangkat ke sekolah SD. Sekolah kami berada di dusun yang berbeda. Setiap hari aku dan kakakku harus berjalan kaki selama dua jam untuk pergi kesekolah dan pulang kerumah. Suatu hari, aku kehilangan satu dari kaus tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya menggunakan satu saja dan harus berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba dirumah, tangannya sangat gemetaran oleh cuaca yang begitu dingin, sampai - sampai ia tidak bisa memegang sendoknya. Sejak saat itu, saya kemudian bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."

Seketika suara tepuk tangan membanjiri tempat itu. Semua tamu kemudian memalingkan wajahnya ke arahku. Kata - kata yang sangat sulit terucap dari bibirku pun kemudian keluar. "Di dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mataku bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

Bisakah kita memiliki jiwa yang besar seperti si adik yang seperti di dalam kisah ini???
Tapi, walau bagaimanapun juga yang namanya saudara patut kita jaga dan hormati, apakah itu seorang adik atau seorang kakak. Karena apalah arti hidup kalau tidak bisa membahagiakan saudara dan keluarga kita.

Selasa, 28 April 2015

Kisah Nyata - Ungkapan Hati Seorang Anak

Kisah berikut yang akan saya ceritakan adaah sebuah kisah dan cerita ungkapan dan Curahan hati, yang mengisahkan tentang betapa besar kasih sayang yang ibu berikan. Kasih sayang yang tulus yang ia berikan tanpa mengharap balasan apa - apa.

Ibu bisa kita ibaratkan sebagai muara kasih, yang penuh cinta dan kasih sayang, tapi tidak jarang kita sebagai seorang anak, melupakan hal itu, kita bukan membuatnya bangga tetapi malah membuatnya menangis. begitu juga yang pernah dan sangat sering saya lakukan.

Ini adalah kisah ku, kisah penyesalan, karna AKU SERING MEMBUAT IBU MENANGIS. Aku adalah seorang anak terakhir dari empat bersaudara yang tinggal di sebuah kota kecil di Sumatera Selatan. Aku rasa aku adalah anak yang paling beruntung karena mempunyai kedua orang tua yang sangat menyayangi ku. Terutama ibu....

Pada suatu waktu, saat itu ketika aku berumur 9 tahun, aku masih duduk di bangku kelas 3 SD. Hari itu (saya lupa hari apa tepatnya) aku pulang cepat dari sekolah karena guru rapat, dan aku pun langsung berencana untuk main dengan teman2 sepulang dari sekolah.. Ketika sampai dirumah, terlihat ibu berdiri di teras, menunggu ku yang sudah terlihat dari kejauhan. Dia pun menyambutku, mengajak ku masuk dan mengganti pakaian ku, lalu menyuruh ku makan, tapi aku langsung menolak karna aku ingin main dengan teman - teman yang sudah menunggu ku. Ibu melarang, dan baru mengizinkan pergi setelah aku makan. Aku marah, lalu langsung lari keluar rumah, ibu mengejar ku sambil berteriak memanggil nama ku. aku terus berlari dan tidak memperdulikannya. Ketika aku menyebrang jalan. Tiba - tiba aku mendengar suara deritan rem mobil, dan ada sebuah benda keras yang menghantam tubuh ku. Dan aku tidak tahu apa2 lagi.
Yang aku tahu ketika aku terbangun, yang ku rasakan sekujur tubuh ku terasa sakit dan ngilu, dan ku lihat disamping ku, ibu sedang menangis, dan tiba2 ia tersenyum saat melihat aku sadar. lalu dia mencium ku dan menangis lagi. Lalu aku bertanya... "Kenapa ibu menangis, apakah ibu marah kepada saya?" lalu ibu menjawab. "tidak sayang, ibu tidak marah marah, tapi ibu hanya sedih karena ibu tidak bisa menjaga kamu". mendengar itupun aku diam.

Setelah kejadian itu, aku selalu berusaha untuk menuruti kata - kata ibu, karna aku tidak mau membuat ibu menangis lagi.

Tapi suatu waktu, saat itu aku duduk di kelas 2 SMP. Karena pengaruh teman - teman, aku melakukan sebuah kesalahan yang amat besar. aku dan 3 orang temanku mengeroyok seorang siswa baru sampai dia babak belur dan masuk rumah sakit. Karena kejadian itu kepala sekolah memanggil ibu dan mengatakan kalau aku dikeluarkan dari sekolah, tentu saja ibu berusaha dengan sekuat tenaga agar kepala sekolah bisa memberi keringanan. Tapi kepala sekolah mengatakan itu adalah tuntutan dari orang tua siswa yang kami keroyok. Tapi ibu tidak menyerah, ibu memberanikan diri dan memprtaruhkan harga dirinya untuk memohon kepada orang tua siswa tersebut untuk mencabut tuntutannya. melihat kesungguhan ibu, akhirnya tuntutan itu pun dicabut dan aku tidak dikeluarkan dari sekolah. Setelah kejadian itu, ibu mengacuhkan aku, dia tidak pernah mau menyapa dan tidak lagi memperdulikan ku. Ke esokan harinya, ketika ayah pulang dari luar kota, ayah langsung murka setelah tau apa yang telah terjadi, ayah menempeleng dan menghajarku sampai aku tidak bisa berbicara dan berdiri lagi. Ketika ayah ingin memberikan pukulan selanjutnya, tiba - tiba ibu berlari ke arah ku dan memelukku sambil menangis. Dia memohon kapada ayah untuk berhenti menghukumku. Lalu ayah pun pergi.

Setelah ayah pergi, ibu menggendongku ke kamar, diletakkannya aku di atas kasur dan obatinya lukaku, aku hanya bisa meringis sambil menangis, tapi tak bisa bersuara, terlihat olehku ibu juga menangis, deras sekali tangisannya dan dia juga tidak bersuara. Dia mengusap semua luka -luka ku, lalu dia menciumku. Terbata - bata lalu aku berkata..."Ibu, maafkan aku. Ibu jangan menangis, apakah ibu marah pada ku?' lalu ibu menjawab. "Tidak nak, ibu menangis bukan karena ibu marah, tapi karena ibu tidak bisa melindungimu"

Mendengar ibu berkata seperti itu, aku menangis lebih kencang lalu memeluk ibu, dan dalam hati aku berjanji tak kan membuat ibu menangis lagi.

 Waktu pun berganti, tak terasa aku sudah lulus SMA, dan dalam kurun waktu itu, aku sangat senang karena aku tak pernah membuat ibu menangis.

Tapi ketika tiba waktu aku harus pergi ke keluar kota untuk mencoba mengadu nasib. Aku berpamitan sebelum pergi, aku memeluk ayah, kakak-kakak, dan terakhir ibu...

Kulihat ibu menangis, tapi terlihat sekali dia mencoba menahan tangisannya sehingga yang terdengar hanya desahan - desahan kecil yang semakin terdengar pilu.

Lalu aku memeluk ibu, aku mencium nya dan mengusap air matanya. Kemudian aku bertanya.. "Ibu, kenapa ibu menangis? apakah ibu tidak ingin aku pergi?"

Kemudian ibu menjawab. "Tidak nak, ibu menangis bukan karena ibu tidak ingin kau pergi, tapi ibu menangis karna ibu tak tau kapan kau akan kembali" ia menjawab sambil menangis dan bagi ku itu adalah kesedihan ku.....
"Ibu jangan khawatir, aku akan segera kembali untuk ibu" lalu aku pun melangkahkan kaki, naik ke bus sambil melambaikan tangan pada mereka, mereka juga melambaikan tangan, kecuali ibu yang hanya mematung dengan mata yang berurai air mata. Tak terasa air mataku jatuh, aku membayangkan ibu, pelukannya, ciumannya dan kasih sayang nya, yang pasti akan sangat aku rindukan "IBU AKU AKAN KEMBALI UNTUKMU" bisikku dalam hati

Tak terasa, setelah setahun bekerja diluar kota, aku akhirnya memutuskan untuk pulang, menemui keluarga, dan pastinya Ibu yang sudah sangat aku rindukan.

Ketika aku tiba, terlihat mereka semua sudah menungguku di terminal. Terlihat ayah, kakak, dan ibu disana. Aku melihat ibu, dia semakin tua, dan aku tiba - tiba membayangkan tangisannya. Dalam hati aku bertanya apakah ibu akan menangis???

Aku turun dari bus dan langsung menemui mereka. ku peluk ayah, ku peluk kk, dan akhirnya kupeluk orang yang sangat ku rindukan, IBU...

Ibu tidak menangis, tidak sama sekali. Malah dia tersenyum melihatku.

Melihat itu tiba - tiba air mataku jatuh dan aku menangis. Ibu lalu mengusap air mata ku. Kemudian bertanya. "Nak, mengapa kau menangis?? apa kau tidak bahagia bertemu ibu?"

Lalu aku menjawab. "Aku menangis bukan karena tidak bahagia menemui ibu. Tapi aku menangis karena teringat betapa sering AKU MEMBUAT IBU MENANGIS...."

Kemudian ibu pun menangis dan kami berpelukan.

IBU AKU MENCINTAIMU. Dan aku berjanji aku tak kan membuatmu menangis lagi, karna tangisanmu adalah kesedihanku dan senyumanmu adalah kebahagiaan ku...

Minggu, 26 April 2015

Kisah Nyata - Cuap Seorang Yang Bosan Hidup

Pada suatu hari ada seorang pria setengah baya mendatangi seorang guru ngaji, kemudian bertanya

''Ustad, saya sudah bosan hidup. Saya sudah lelah. Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau. Apapun yang saya lakukan selalu berantakan. Rasanya ingin saya akhiri saja kehidupan ini.''

Sang Ustad pun tersenyum, "Oh, kamu sakit."

"Tidak Ustad, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan. Itu sebabnya saya ingin mati."

Seolah-olah tidak mendengar pembelaannya, sang Ustad meneruskan, "Kamu sakit. Dan penyakitmu itu sebutannya, "Alergi Hidup". Ya, kamu alergi terhadap kehidupan." pak ustad terdiam sejenak kemudian melanjutkan ucapannya. "Banyak sekali di antara kita yang alergi terhadap kehidupan. Kemudian, tanpa disadari kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma kehidupan. Hidup ini berjalan terus. Sungai kehidupan mengalir terus, tetapi kita menginginkan status-quo. Kita berhenti di tempat, kita tidak ikut mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Kita mengundang penyakit. Resistensi kita, penolakan kita untuk ikut mengalir bersama kehidupan membuat kita sakit. Yang namanya usaha, pasti ada pasang-surutnya. Dalam hal berumah-tangga,bentrokan-bentrokan kecil itu memang wajar, lumrah. Persahabatan pun tidak selalu langgeng, tidak abadi. Apa sih yang langgeng, yang abadi dalam hidup ini? Kita tidak menyadari sifat kehidupan. Kita ingin mempertahankan suatu keadaan. Kemudian kita gagal, kecewa dan menderita. Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu ingin sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku. demikian ujar sang Ustad.

"Tidak Ustad, tidak. Saya sudah betul-betul jenuh. Tidak, saya tidak ingin hidup." pria itu menolak tawaran sang Ustad.

"Jadi kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati?" ucap pak ustad dengan nada sedikit agak berat.

"Ya, pak ustad, saya sudah bosan hidup."

"Baik, kalau begitu keputusanmu. besok sore kamu akan mati. Ambillah botol obat ini. Setengah botol diminum malam ini, setengah botol lagi besok sore jam enam, dan jam delapan malam kau akan mati dengan tenang."

Sekarang Giliran si pria paruh baya itu yang menjadi bingung. Setiap Ustad yang ia datangi selama ini selalu berupaya untuk memberikannya semangat untuk hidup. Tapi ustadz yang satu ini aneh. Malahan ia yang bahkan menawarkan racun. Tetapi, karena ia memang sudah betul-betul jenuh, ia menerimanya dengan senang hati.

Sesampainya dirumah, pria paruh baya itu langsung menghabiskan setengah botol racun yang disebut "obat" oleh Ustad edan itu. Dan, ia merasakan ketenangan sebagaimana tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Begitu rileks, begitu santai! Tinggal 1 malam, 1 hari, dan ia akan mati. Ia akan terbebaskan dari segala macam masalah.

Malam itu, ia memutuskan untuk makan malam bersama keluarga di restoran masakan Jepang.
Sesuatu yang sudah tidak pernah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir. Pikir-pikir malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis. Sambil makan, ia bersenda gurau. Suasananya santai banget! Sebelum tidur, ia mencium bibir istrinya dan membisiki di kupingnya, "Sayang, aku mencintaimu." Karena malam itu adalah malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis!

Esoknya bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat ke luar. Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya. Dan ia tergoda untuk melakukan jalan pagi. Pulang kerumah setengah jam kemudian, ia menemukan istrinya masih tertidur. Tanpa membangunkannya, ia masuk dapur dan membuat 2 cangkir kopi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya.

Karena pagi itu adalah pagi terakhir,ia ingin meninggalkan kenangan manis! Sang istripun merasa aneh sekali, "Mas, apa yang terjadi hari ini? Selama ini, mungkin aku salah. Maafkan aku, mas."

Di kantor, ia menyapa setiap orang, bersalaman dengan setiap orang. Stafnya pun bingung, "Hari ini, Bos kita kok aneh ya?"

Dan sikap mereka pun langsung berubah. Mereka pun menjadi lembut. Karena siang itu adalah siang terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Tiba-tiba, segala sesuatu di sekitarnya berubah. Ia menjadi ramah dan lebih toleran, bahkan apresiatif terhadap pendapat-pendapat yang berbeda. Tiba-tiba hidup menjadi indah. Ia mulai menikmatinya.

Pulang kerumah jam 5 sore, ia menemukan istri tercinta menungguinya di beranda depan.
Kali ini justru sang istri yang memberikan ciuman kepadanya, "Mas, sekali lagi aku minta maaf, kalau selama ini aku selalu merepotkan kamu."

Anak-anak pun tidak ingin ketinggalan, "Ayah, maafkan kami semua. Selama ini, ayah selalu stres karena perilaku kami semua."

Tiba-tiba, sungai kehidupannya mengalir kembali. Tiba-tiba, hidup menjadi sangat indah. Ia membatalkan niatnya untuk bunuh diri. Tetapi bagaimana dengan setengah botol yang sudah ia minum, sore sebelumnya? "Ya Allah, apakah maut akan datang kepadaku. Tundalah kematian itu ya Allah. Aku takut sekali jika aku harus meninggalkan dunia ini." Kemudian ia berinisiatif untuk meminta penawar racun kepada pak ustad

Ia pun buru-buru mendatangi sang Ustad yang telah memberi racun kepadanya. Sesampainya dirumah ustad tersebut, pria itu langsung mengatakan bahwa ia akan membatalkan kematiannya. Karena ia takut sekali jika ia harus kembali kehilangan semua hal yang telah membuat dia menjadi hidup kembali.

Apa yg terjadi, melihat wajah pria itu, rupanya sang Ustad langsung mengetahui apa yang telah terjadi, sang ustad pun berkata. "Buang saja botol itu. Isinya air biasa kok.. Kau sudah sembuh, Apa bila kau hidup dalam kepasrahan, apabila kau hidup dengan kesadaran bahwa maut dapat menjemputmu kapan saja, maka kau akan menikmati setiap detik kehidupan. Leburkan egomu, keangkuhanmu, kesombonganmu. Jadilah lembut, selembut air. Dan mengalirlah bersama sungai kehidupan. Kau tidak akan jenuh, tidak akan bosan.
Kau akan merasa hidup. Itulah rahasia kehidupan. Itulah kunci kebahagiaan. Itulah jalan menuju ketenangan. percayalah .. Allah bersama kita."

Lalu Pria itu mengucapkan terima kasih dan menyalami Sang Ustad, lalu pulang ke rumah, untuk mengulangi pengalaman malam sebelumnya. Ah, indahnya dunia ini

Sabtu, 25 April 2015

Kisah Nyata - Dosaku Ku bayar Dengan Derita Dan Air Mata

Kisah ini bermula di suatu sore di tempat dimana biasa aku mencari barang bekas. Aku yang waktu itu lagi asyik membongkar tempat sampah untuk mencari botol - botol bekas dan barang - barang lain yang sudah di buang orang - orang akan tetapi masih berharga jika di jual.

Aku yang merasa capek, karena sudah seharian berjalan kaki mendorong gerobak dari tempat sampah satu ke tempat sampah lain, sedang beristirahat melepas penat. Tidak lama kemudian datanglah seorang perempuan yang berpakaian lusuh, sama seperti aku. Ya wanita itu juga seorang pemulung.

"Kamu tidak bakal dapat apa - apa di tempat sampah itu. Karena aku sudah duluan mencari dan mengambil barang - barang yang bisa di jual dari tempat sampah itu" bisikku dalam hati.

Namun dugaanku salah. Wanita itu mengambil beberapa potong roti - roti bekas yang sudah basi, jamuran dan yang pasti sudah tidak layak untuk di konsumsi. Melihat wanita itu mengambil dan mengumpulkan roti - roti bekas itu. Aku pun penasaran, untuk apa wanita itu mengambil roti basi dan tidak layak untuk di konsumsi.

Aku pun mendekati wanita itu dan bertanya. "Bu, tukan roti basi. Ngapain di ambilin?" kataku dengan rasa penasaranku.

"Buat makan, Bu." jawab wanita itu

"Buat makan? Bukannya roti itu sudah jamuran?"

"Jamurnya kan bisa di bersihkan, terus bisa dimakan. Daripada aku kelaparan!!!"

"Oh, begitu ya"

"Iya"

Perkataan wanita itu akhirnya menimbulkan suatu ide buatku. Aku memiliki sebuah inisiatif untuk mengolah kembali roti - roti bekas itu kemudian menjualnya. Karena tiap hari aku bisa menemukan banyak roti roti bekas seperti yang di ambil wanita tadi.

Keesokan harinya, aku pun memulai aksiku, ku susuri semua tempat sampah dan mengambil roti - roti basi dan membawanya pulang. kemudian aku cuci dan bersihkan jamurnya. Setelah roti sudah bersih dari jamur aku mulai mengolahnya menjadi makanan yang layak untuk di konsumsi.

Benar saja, dengan mengolah roti basi menjadi seperti makanan yang layak di konsumsi, aku mendapat keuntungan yang banyak.

Keesokan harinya aku kembali mengolah roti basi dua kali lipat dari hari sebelumnya dan menyuruh anakku untuk membawa sebagian ke sekolahnya untuk di jual. Namun aku melarang keras anakku untuk mengkonsumsi roti tersebut.

Karena anakku orangnya penurut, dia mengikuti kata - kataku dan tidak memakan roti buatanku itu. Anakku tidak mengetahui kalau bahan dari roti yang aku buat itu terbuat dari bahan roti yang basi dan jamuran. Bahkan aku melarangnya untuk membantuku dalam membuat kue roti.

Sudah hampir lima hari aku berjualan roti bekas, dan aku sudah bisa membelikan baju baru, sepatu baru dan memberikannya uang jajan.

Namun setibanya aku di rumah, aku di kejutkan oleh pertanyaan polos dari anakku, yang sempat membuatku berpikir.

"Bu, kenapa ya semua teman - teman di sekolahku banyak yang sakit perut?" tanya Nisa putriku

"Terus apa hubungannya dengan kamu?" aku kembali bertanya kepadanya

"Aku takut kalau teman - temanku sakit perut karena makan - makanan kita, Bu."

"Maksud kamu? Kamu nuduh Ibu meracuni teman - teman kamu?"

"Tidak, Bu. Aku tidak nuduh ibu. Aku cuma takut."

"Kalau kamu takut, itu sama saja kamu nuduh, Ibu. Meracuni teman kamu, Ibu itu jual makanan yang halal dan enak. Harusnya kamu itu bersyukur. Karena sekarang kamu sudah tidak telat lagi untuk membayar uang sekolah. Iya, Kan?" jawabku sedikit membentak Nisa anakku

"Iya, Bu"

"Ya, sudah. Sana masuk"

Hampur sebulan aku terus melakoni pekerjaan baruku, dan aku mendapat banyak uang dari hasil jualan roti bekas itu. Namun orang - orang yang membeli dan mengkonsumsi rotiku merasa sakit di perutnya. dan hal itu membuatku sedikit berpikir. "Kalau semua orang yang makan roti ini sakit, itu berararti... Udah ah bodoh amat, mereka juga gak ada yang perduli sama aku."

Pada suatu hari sepulang dari tempat sampah mencari roti bekas, aku merasa capek. Aku bermaksud untuk menjemur roti basi itu di tempat jemuran agar jamur yang menempel di roti itu luntur.

Namun hal itu di ketahui oeh anakku, Nisa membuang semua roti yang aku jemur tadi, dia berpikir kalau roti itu adalah milikku yang sudah basi.

Aku yang mengetahui kalau roti itu di buang Nisa di tempat sampah yang ada di depan rumah, kemudian mengambil kembali roti tersebut. Namun hal itu di ketahui Nisa. Dia marah besar dan menangis. Dia kecewa karena aku telah mengolah roti basi untuk bahan kue jualanku.

Sejak mengetahui bahan olahan kue rotiku adalah roti basi, Nisa sudah tidak mau lagi membantuku untuk menjual kue roti itu lagi disekolahnya. pernah suatu hari aku melihat Nisa sedang berjalan masuk ke sekolahnya. Namun aku memanggil dan menitipkan kue roti buatanku agar dia menjual kue - kue buatanku itu di sekolah. Namun ketika ada temannya yang ingin membeli, kue - kue buatanku itu di buangnya. Bahkan ketika Nisa melihat ada teman - temannya yang membeli kue roti yang aku titipkan di warung - warung. Nisa malah merebut kue roti itu kemudian membuang dan melarang teman - temannya untuk memakan kue rotii buatanku.

Karena rasa curiga yang oleh apa yang di lakukan Nisa, para warga curiga dan melaporkan saya ke kantor polisi. Karena terbukti saya bersalah, akhirnya aku ditahan di kantor polisi.

Sudah empat hari saya di kurung di tahanan, saya di lepas. Karena pertolongan Bu Ustadza Aminah. Guru mengaji anakku. Dan aku pun berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Setibanya saya di rumah, saya di sambut oleh bu - ibu tetangga rumah saya, mereka semua mengusir saya dari kampung itu. Namun, karena kebaikan dan ketulusan Bu Ustadza Aminah, akhirnya para warga mau menerima saya kembali di kampung ini.

Sudah hampir Tiga bulan saya kembali kejalanan dan memulung. Uang hasil dari menjual Roti basi yang saya hasi dulu pun tinggal sedikit. Karena hasil memulungku tidak seberapa.

Siang itu, tanpa sengaja saya lewat di sebuah warung yang ada TVnya dan disitu di beritakan sebuah berita tentang makanan yang di awetkan. Saya pun berinisiatif untuk kembali berjualan pecal dengan menggunakan bahan pengawet. pikir saya kalau makanannya awet berarti makanan saya tidak bisa basi.

Saya pun memulai usaha saya, dan benar saja. dengan membeli sayuran secara banyak saya mendapat diskon dan jika saya masak sekaligus menggunakan bahan pengawet sayuran bahan pecal saya tahan lama dan tidak pernah basi.

Namun, tanpa saya sadari. Makanan yang telah saya jual merenggut nyawa anaknya tetangga saya. dan warga yang memakan pecal saya mengalami mual dan sakit perut.

Anakku yang mengetahui, kalau aku menjual pecal menggunakan bahan pengawet. Pergi meninggalkan rumah, meninggalkan aku.

Suatu hari para warga mengetahui bahwa pecal buatanku mengandung bahan pengawet. berdatangan kerumahku dan ingin menangkapku untuk di jebloskan ke penjara. Saya pun melarikan diri lewat pintu belakang. Namun di tengah perjalanan saya merasa pusing yang hebat. pandangan saya gelap, kemudian saya pingsan.

Sewaktu saya sadar, saya sudah berada di rumah sakit. Saya mendapati bahwa tubuh saya di sebelah kiri tidak dapat saya gerakkan. Saya mengalami struk.

Sekarang aku telah menerima ganjaran atas segala perbuatan dan dosaku.

Kamis, 23 April 2015

Kisah Nyata - Aku Kehilangan Rumah Dan Suamiku Gara - Gara Batu

Sebut saja namaku Yuni, aku seorang wanita berumur 32 tahun. Aku dan suamiku menikah sudah lebih dari sepuluh tahun, dari pernikahanku dengan mas Yanto kami di karuniai seorang putri yang kami beri nama Fadila.

Mas Yanto berprofesi sebagai tukang ojek. Pernah suatu hari, jam di dinding telah menunjukkan pukul 10:00 malam, namun mas Yanto belum juga kunjung pulang ke rumah. Akhirnya aku punya inisiatif untuk menyusulnya di pangkalan ojek, karena aku takut, aku taku ada hal - hal buruk yang menimpanya. Karena sekarang ini lagi marak - maraknya pembegalan.

Setibanya aku di pangkalan ojek, disana aku melihat motor mas Yanto, namun mas Yanto tidak ada di tempat itu. Aku tanyakan kepada temannya, namun teman - temannya yang berprofesi sebagai tukang ojek juga malah mengatakan kalau mas Yanto sebenarnya belakangan ini jarang mangkal di pangkalan ojek itu. Dia malah sering menghabiskan waktunya di toko perhiasan batu akik.

Belum berapa lama aku berdiri di tempat itu, akhirnya suamiku datang dan mengajakku untuk pulang.

Dulu sebelum mas Yanto kecanduan batu. Hidup rumah tangga kami sangat bahagia. Karena mas Yanto termasuk sosok yang bertanggung jawab terhadap keluarga. Jika hari libur (minggu) mas Yanto selalu menyempatkan diri pulang kerumah untuk mengajak anaknya jalan - jalan ke tempat liburan.

Dulu sebelum mas Yanto kenal dengan batu, dia selalu pulang cepat dan mengajak anaknya main, bercanda. Namun setelah dia mengenal batu akik. semuanya berubah total, bahkan aku pernah mengingatkannya.

"Mas, aku tidak melarang kamu untuk menyukai batu akik, tapi tolong luangkan sedikit waktumu sedikit saja untuk Fadila. Karena dulu sebelum mas menyukai batu, mas selalu menyempatkan diri untuk pulang cepat untuk mengajaknya bermain, bercanda, keliling - keliling kampung." Ucapku memohon

"Yauda, kalau begitu, besok aku akan mengajak Fadila untuk bermain di taman seperti biasa."

Akhir waktu yang di tunggu - tunggu telah tiba. Aku dan ibuku sudah mendandani Fadla secantik mungkin, karena siang ini mas Yanto akan mengajak anaknya untuk bermain seperti dulu. Alangkah bahagianya hatiku melihat senyum manis yang selalu terpancar di wajah buah hatiku. Dia begitu bahagia, karena hari ini ayahnya menyempatkan sedikit waktu untuknya bermain di taman.

Jam di dinding menunjukkan pukul 03:40. Akhirnya suamiku pulang. Namun kepulangannya bukan untuk mengajak anaknya untuk jalan - jalan ketaman, melainkan dia mengambil sebuah tas dan memasukkan beberapa bajunya ke dalam tas, kemudian mengatakan. "Maaf ya, Nak. Bapak harus ke kampung sebelah. Disana terdapat batu giok yang harganya sangat mahal. Kalau bapak tidak cepat - cepat nanti keburu habis di ambilin para warga."

Mendengar penuturan mas Yanto, aku pun merasa kecewa. Aku membentaknya dan perkelahian kecil pun terjadi diantara kami. Hingga saat mas Yanto ingin menjalankan motornya aku mencoba untuk menahannya dengan berdiri tepat di depan motornya. Aku berharap mas Yanto mau mengurungkan niatnya pergi kekampung sebelah dan mengajak anaknya untuk bermain ke taman walau sebentar saja. Namun, lagi - lagi aku kecewa, Karena mas Yanto memarahiku, membentakku, bahkan berniat untuk tetap menghidupkan dan menjalankan motornya dan hampir menabrakku.

Sudah empat hari mas Yanto pergi kekampung sebelah untuk mencari batu, namun dia belum pernah pulang sebentar saja ke rumah. Saat itu Fadila Sakit. Badannya panas tinggi, aku memberanikan diri untuk menelpon mas Yanto, niatku untuk menyuruhnya pulang sebentar saja untuk menengok anaknya yang lagi sakit. Tapi yang aku dapat hanya makian dari mas Yanto.

Alhamdulillah, setelah tujuh hari setelah kepergian mas Yanto tempo hari, akhirnya dia pulang juga kerumah. Kondisi kesehatan buah hati kami pun perlahan sedikit membaik.

Pada suatu malam, Pak Tarmin. Orang yang cukup terpandang di desa kami, kecolongan yang anehnya pencuri itu hanya mengambil koleksi batu akik yang di milikinya. Hal itu berdampat negativ terhadap suamiku, karena beliau merasa takut kalau - kalau si pencuri itu datang menyatroni rumah kami dan mengambil semua koleksi batu milikinya.

Semenjak kejadian itu, aku di paksa oleh mas Yanto untuk bergantian menjaga batuk akik miliknya. Lima hari sudah berlalu aku jarang tidur malam karena harus menjaga batu - batu mas Yanto.

Saat aku berjalan pulang ke rumah, aku merasa sedikit pusing. Mungkin karena aku kurang tidur. Saat melakukan perjalanan pulang kerumah, tiba - tiba ada sebuah motor dari belakang dan menabrakku. Naasnya lagi, pengendara itu malah melarikan diri dan tidak bertanggung jawab atas perbuatannya kepadaku. untung saja saat itu ada para warga yang baik hati untuk mengantarkanku ke rumah sakit.

Di rumah sakit, mas Yanto datang mengunjungiku. Bukannya menyemangatiku dia malah memarahiku.

"Bagaimana keadaanku mas? apa kata dokter mas? aku tidak luka dalamkan" tanyaku kepada mas Yanto

"Kamu tidak apa - apa, tapi biaya berobat kamu itu mahal. Sudah tahu tidak punya uang pakai acara keserempet segala." jawab mas Yanto.

"Namanya juga musibah mas, mana ada sih orang yang mau kecelakaan. Aku minta maaf ya mas. Untuk biaya rumah sakit, kamu maukan jual batu kamu untuk bayar biaya rumah sakit. Satu saja mas."

"Enak saja ya, gila kamu ya. Kamu minta saja uang untuk bayar rumah sakit sama ibumu."

Ibuku yang baru tiba di situ mendengar percakapan kami, langsung memotong pembicaraan.

"Gak akan, gak bakalan. Kamu yang harus bayar. Yuni, bukan ibu mau jahat sama kamu nak, tapi diakan suami kamu, dia yang harus tanggung jawab. Toh ini semua juga salahnya dia."

"Kok ibu jadi salahin saya, salah saya ini apa bu, ya jelas - jelas anak ibu yang ceroboh, anak ibu yang gak hati - hati. Pokoknya aku gak mau jual koleksi batu akikku. mendingan aku pergi untuk mencari jenis batu lain."

Suasana semakin menegang dan akhirnya mas Yanto, pergi meninggalkan tempat itu, aku kemudian menyuruh ibuku untuk menjual perhiasanku untuk membayar biaya rumah sakit. Namun ibuku melarang karena beliau juga masih punya sedikit simpanan yang cukup untuk membayarkan biaya rumah sakit. Ibuku bahkan menyuruhku untuk segera pisah dengan mas Yanto, karena beliau tidak tahan dengan perangai suamiku yang tergila - gila dengan batu.

Ditempat penjualan batu akik, mas Yanto memamerkan batu akiknya, seakan - akan batu miliknya itu yang paling bagus. Bahkan si penjual batu mengiyakan kalau jenis batu yang di miliki oleh suamiku itu sekarang sudah langka, jarang di temukan. Namun ada seorang warga yang mengatakan bahwa batu miliknya itu tidak ada apa - apanya di banding dengan kepunyaan ustad Rio yang ada gambar ka'bah di dalamnya.

Kemudian mas Yanto mendatangi Ustad Rio supaya pak ustad mau menjual batunya itu kepadanya. Namun pas ustad tidak mau menjual batu itu, karena batu itu kenang - kenangan sewaktu dia naik umroh ke tanah suci, batu itu d berikan oleh salah seorang ustad ternama. Yang membuatku tidak habis pikir lagi, mas Yanto malah menyuruhku untuk merayu ustad Rio, ya dulunya mas Rio adalah mantan kekasihku. Namun tidak ada jodoh diantara kami. Terang saja aku menolak untuk melakukan hal itu. Mas Yanto marah besar dan kemudian pergi, aku mencoba menahannya agar dia tidak pergi. Namun dia tetap bersikeras juga untuk pergi, aku tarik kakinya dia malah menendangku.

Ibuku yang melihat kejadian itu juga marah besar, bahkan dia menyuruhku untuk berpisah dengan mas Yanto. Jika mas Yanto tidak pulang kerumah beberapa hari. Sepertinya keputusan ibuku itu cukup membuatku untuk berpikir ulang.

keesokan harinya mas Yanto akhirnya pulang, dan akupun bersyukur kepada Allah, karena dia telah menuntun langkah suamiku untuk pulang kerumah. Namun lagi - lagi aku kecewa, karena kepulangannya hanya untuk meminta uang untuk membeli batu akik yang mirip dengan kepunyaan ustad Rio, Yang membuatku tambah sakit, mas Yanto malah mengambil semua perhiasanku untuk membeli batu akik itu. Bahkan dia mengatakan kalau uang dari hasil menjual perhiasanku juga belum cukup untuk membeli batu akik itu. Dia mengancam untuk menjual rumah kami, rumah ini bukan rumahku tapi rumah ini milik ibuku, bentakku.

Namun karena rasa sukanya terhadap batu akiknya, mas Yanto nekat mencuri sertifikat rumah kemudian menjual rumah kami, rumah ibuku, rumah peninggalan almarhum ayahku. Ibuku yang kemudian mengetahui kalau rumahnya ternyata telah di jual oleh mas Yanto akhirnya marah besar. Dia bersikeras untuk menyuruhku berpisah dengan mas Yanto. Namun karena mas yanto memohon dan cukup meyakinkan saya jika dia akan berubah dan gak akan membeli batu lagi setelah ini. Saya pun akhirnya membujuk ibuku dan mau memaafkannya dan meyakinkan ibuku kalau mas Yanto mau berubah. Alhasil ibuku luluh dan menuruti kata - kataku.

Berita tentang mas Yanto memiliki batu akik yang dijadikannya batu cincin berisikan gambar ka'bah menyebar. hingga ada seorang kolektor yang ingin membeli batu itu seharga 200jt. Namun mas Yanto tidak mau menjual batunya. Hingga pada suatu hari ada seorang wanita yang merayu suamiku untuk menjual batunya itu kepadanya. Berbagai cara telah di lakukannya namun suamiku tetap tidak mau menjual batu akik itu.

Suatu hari, sepulang dari menjual pecal di pasar, aku melihat suamiku bersam perempuan yang tergila - gila dengan batu akik milik suamiku, aku melihat mereka lagi makan - makan di sebuah warung makan di pinggir jalan. Aku melihat wanita itu memegang - megang tangan suamiku, merasa cemburu.

Akupun menyamperin mereka. lalu melabrak wanita itu.

"Apa - apaan kamu pegang - pegang tangan suamiku. Lepasin gak tangan suami saya." tanyaku dengan nada tinggi

"Maaf ya, mbak. Saya kira mas Yanto ini seorang duda. Lagian saya disini juga tidak berniat untuk merebut suami orang, saya cuma tertarik dengan batu yang di miliki suami mbak.

"Mas, kalau memang perempuan ini suka dengan batu cincinmu, kamu kasikan aja batu itu ke dia, kamu jual kedia." ucapku sambil meraih tangan mas Yanto.

Batu cincin yang berada di tangan mas Yanto aku rebut, namun dia tidak mau memberikannya. Akhirnya batu itu terlempar jauh di jalan. Mas Yanto marah besar, kemudian dia mengucapkan kata yang seharusnya tidak aku dengar.

"Tuh, kan lecet. Ini semua gara - gara kamu. Lebih baik kamu yang keserempet daripada harus batuku." ucap mas Yanto

terang saja aku yang mendengar penuturan itu merasa kecewa. "Jadi, kamu lebih memilih batu - batu kamu ini daripada aku mas?"

"Iya, dan aku tidak mau mengambil resiko lagi, aku tidak mau batu - batuku yang lain tidak selamat. Jadi lebih baik kita berpisah."

"Pisah, kamu rela berpisah dengan aku cuma gara - gara batu cincin kamu itu?"

"Karna kamu itu sama sekali tidak bisa mendukung hobiku, kamu tidak bisa cinta dengan batu - batuku"

Semenjak kejadian itu aku pun dan Yanto berpisah.

Ya Allah gara - gara batu, hamba bukan hanya kehilangan rumah, tapi hamba juga kehilangan suami.

Rabu, 22 April 2015

Kisah Nyata - Sedikit Kejujuran Pahit Dari Seorang Ayah

Kisah ini bermula dan terjadi kepada bapak veteran perang kemerdekaan, seorang pejuang yang sholehserta pekerja keras. Beliau memiliki sebuah kebiasaan yang begitu hebat di usianya yang memasuki 93 tahun, beliau tidak pernah meninggalkan sholat berjamaah di masjid untuk maghriba, isya dan shubuh.

Saat ini beliau mulai menua dan tidak mampu lagi untuk bangun dari tempat tidur sejak dua bulan lalu. Sekarang beliau hanya terbaring di rumah di temani oleh anak - anaknya sejak dua bulan terakhir. Kesadarannya mulai menghilang, beliau mulai hidup di fase antara dunia nyata dan impian. Bahkan beliau sering mengigau dan berkata - kata dalam tidurnya. Dua bulan terakhir ini kesehariannya hanya di habiskan dalam kondisi tidur dan kepayahan.

Oleh karena beliau memiliki pribadi yang baik, maka anank - anak beliau pun juga di ajarkan dengan cukup baik oleh sang ayah. Mereka memiliki iman yang ibadah yang terjaga, berpenghasilan yang lumayan, dan mereka cukup akrab. Ketika sang ayah jatuh sakit, mereka pun bergantian untuk menjaga sang ayah demi berbakti kepada orang tua.

Akan tetapi, disini ada beberapa kisah yang cukup mengiris hati. Sebuah penuturan yang jujur dan polos yang terjadi dan saya tuturkan kembali agar kita semua bisa mengambil hikmah dari kisah nyata ini.

Alkisah, pada suatu hari di malam lebaran, sang ayah di bawa kerumah sakit karena kondisi tubuh dan sesak di pernafasannya. Malam itu, sang anak yang bekerja di luar kota dan baru sampai, bersikeras menjaga sang ayah di kamar sendirian. Beliau duduk di bangku sebelah ranjang rumah sakit di mana disitu terdapat sang ayah sedang tertidur. Tengah malam beliau di kejutkan oleh sebuah pertanyaan yang keluar dari mulut sang ayah.

"Apa kabar pak Rahman? mengapa beliau tidak datang untuk mengunjungi saya yang sedang sakit?" tanya sang ayah dalam igaunya

Tidak begitu lama, kemudian sang anak menjawab, "Pak Rahman juga lagi sakit, Ayah."

Pak Rahman di kenal sebagai salah seorang jamaah tetap di masjid.

"Oh... lalu, kamu siapa? Anak pak Rahman ya?" tanya sang ayah kembali

"Bukan, ayah. Ini aku Zaid, anak ayah yang ke tiga."

"Ah, mana mungkin kamu Zaid? Zaid itu sibuk!!! Saya bayar pun dia tidak mungkin mau menunggu saya disini. Dalam pikirannya, kehadirannya cukup di gantikan dengan uang." ucap sang ayah yang masih dalam keadaan setengah sadar.

Mendengar penuturan sang ayah, Si anak tidak mampu berkata apa - apa lagi. Air matanya pun kemudian menetes membasahi pipinya dan emosinya terguncang.

Zaid sejatinya adalah seorang anak yang begitu peduli dengan orang tua. Sayangnya beliau bekerja di luar kota. Jadi jika sanga ayah sakit dalam keadaan yang tidak begitu berat, biasanya dia menunda kepulangannya dan memilih membantu dengan mengirimkan dana saja kepada ibunya. Dan yang bisa dia lakukan hanyalah menelpon ibunya saja, kemudian menanyakan kabarnya. Namun, tidak pernah terlintas di pikirannya, jika keputusan yang diambilnya itu ternyata meninggalkan bekas yang sangat dalam di hatii sang ayah.

Di waktu yang berbeda, penyakit sang ayah kembali kambuh, beliau batuk - batuk hebat di tengah malam. Sang anak yang melihat Ayahnya, langsung berlari dan menggosokkan minyak angin di dadanya, ada juga yang memijit mijit lembut. Akan tetapi, tangan si anak di tepis sesegera mungkin oleh sang ayah.

"Ini bukan tangan Istriku. Dimana Istriku?" tanya sang ayah.

"Ayah, ini kami. Anak - anakmu." jawab salah seorang anak.

"Tangan kalian kasar dan keras, pindahkan tangan kalian!!! Mana ibu kalian? Biarkan ibu kalian yang berada di sampingku. Kalian selesaikan saja urusan kalian seperti yang lalu - lalu."

Sekiranya, dua bulan yang lalu ketika sang ayah jatuh sakit, tidak pernah sedikitpun sang ayah mengeluh dan berkata seperti itu. Apa bila sang anak di tanya kapan pulang, dan sang anak berkata saya lagi sibuk dengan pekerjaannya, sang ayah hanya menjawab dengan jawaban yang sama. "Pulanglah kapan engkau tidak sibuk" kemudian beliau kembali ke aktivitasnya seperti biasa. Bekerja, sholat berjamaah, pergi ke pasar, bersepeda sendiri. Semua dilakukannya benar - benar sendiri. Mungkin beliau kesepian, puluhan tahun lamanya. Akan tetapi, beliau tidak mau mengakuinya di depan anak - anaknya.

Mungkin saja beliau butuh hiburan dan canda tawa dari anak - anaknya. Namun kini si anak sudah tumbuh dewasa dan sibuk dengan keluarganya. Mungkin saja beliau ingin menggenggam tangan seorang bocah kecil yang di pangkunya dulu sekitar 50 - 60 tahun yang lalu sembari membawanya berjalan ke pasar untuk sekedar di belikan kerupuk dan kembali pulang dengan senyuman lebar karena mendapat hadiah kerupuk. Namun bocah itu sekarang telah menjelma menjadi seorang pengusaha, guru, karyawan perusahaan, yang seolah - olah tidak pernah merasa senang bila beliau di ajak oleh beliau kepasar seperti dulu. seolah - olah seperti bocah - bocah yang sedang berkata, "Saya sibuk,,, saya sibuk. Anak saya begini, istri saya begini, pekerjaan saya begini." Lalu berharap sang ayah berkata. "Baiklah, ayah mengerti."

Kemarin siang, saya sempat meneteskan air mata ketika mendengar penuturan dari sang anak. Karena mungkin saya seperti sang anak tersebut, merasa sudah memberi perhatian lebih, sudah merasa menjadi seorang anak yang berbakti dan bisa membuat orang tua saya bangga. Namun siapa yang bisa menyangka, ternyata semua itu ternyata tidak sesuai dengan prasangka orang tua kita yang paling jujur.

Maka dari itu, sudah seharusnya kita,. Ya, Kita ini, yang sudah menikah, berkeluarga, memiliki anak, harus mampu melihat ibu dan bapak kita sebagai seorang sosok yang hanya ingin di bantu dengan yang namanya uang. Akan tetapi jika pikiran kita menyatakan hal demikian, maka pikirkan, apa bedanya ayah dan ibu kita dengan karyawan perusahaan?

Dan juga jangan sesekali kita melihat orang tua kita sebagai sosok yang hanya butuh di berikan baju baru dan di kunjungi setahun dua kali, karena bila itu yang ada di pikiran kita. Maka, tidak ada bedanya jika kita menganggap ayah dan ibu kita sebagai panitia sholat Idul Fitri dan Idul Adha yang kita temu setahun dua kali?

Wahai saudaraku yang arif, yang budiman, penyayang dan pengasih yang memiliki hati yang begitu lembut dengan cinta dan kepada anak - anaknya dan keluarganya, Lihat dan pandangilah ibu dan ayahmu di hari tuanya. Lihat dan pandangilah beliau selayak tatapan kanak - kanak kita. Singkirkan jabatan, serta gelar yang telah kita raih begitu juga dengan pekerjaan kita. Ketahuilah, orang tua kita tidak mencintai kita karena semua itu semua. Kembalilah menatap kedua orang tuamu selayak kamu kecil dan selalu berkata. "Kemana, Ayah, Bu?" atau "Kemana, Ibu, Ayah.?" kemudian menangis kencang setiap kali di tinggalkan oleh kedua orang tuanya.

Duhai dirimu yang selalu menangis kencang sewaktu kecil karena takut di tinggal Ayah dan Ibu., apakah dirimu tidak melihat dan perduli dengan tangisan dan jeritan kecil di hati Ayah dan Ibumu karena dirimu telah meninggalkan beliau bertahun - tahun dan hanya berkunjung setahun dua kali?

Sadarlah duhai jiwa - jiwa yang telah terlupa akan kasih dan sayang terhadap orang tua kita. Hal itu bisa saja terjadi, orang tua kita benar - benar telah menahan kerinduan kepada sosok jiwa kanak - kanak kita, yang selalu berharap bisa berjumpa dengan beliau tanpa jeda, tanpa adanya alasan sibuk kerja, tanpa alasan tiada waktu karena sibuk mengejar yang namanya "PRESTASI"

Siapkan dirimu dari sekarang, agar kelak ketika sang ayah dan ibumu berkata jujur tentang kita dan igauannya, beliau mengakui. bahwa betapa lelahnya, capeknya beliau menunggu kesadaran kita untuk bermanja - manja lagi kepada beliau.

Saya berharap semoga kisah ini bisa menjadi sebuah bahan renungan bagi kita semua.

Saya juga berharapsemoga kisah tersebut di atas bermanfaat bagi saya sendiri, buat calon anak - anak saya di kemudian hari dan buat saudara - saudara setia pengunjung blog sederhana saya ini. Salam Ukhuwah

Silahkan di share jika menurut anda semua coretan ini bermanfaat dan berguna untuk kita semua.

SUMBER KISAH : Hilman Rosyad Syihab
Saya kutip dari sebuah obrolan di group BBM Dakwah Islam.

Senin, 20 April 2015

Kisah Nyata Haru, Pilu Dan Menyentuh - Di Balik Tas Siswi Pemalu Dan Pendiam

Di sebuah sekolah SMA Putri yang terletak di kota Shan'a' yang merupakan ibu kota Yaman telah menetapkan kebijakan adanya pemeriksaan mendadak bagi seluruh siswi di dalam kelas. Sebagaimana yang ditegaskan oleh salah seorang pegawai sekolah bahwa tentunya pemeriksaan itu bertujuan merazia barang-barang yang di larang di bawa ke dalam sekolah, seperti : telepon genggam yang di lengkapi dengan kamera, foto-foto, surat-surat, alat-alat kecantikan dan lain sebagainya. Yang mana seharusnya memang sebuah lembaga pendidikan sebagai pusat ilmu bukan untuk hal-hal yang tidak baik..

Kemudian pihak sekolah pun melakukan pemeriksaan. Mereka keluar kelas, masuk kelas lain. Semua tas para siswi terbuka di hadapan mereka. Tas-tas tersebut tidak berisi apapun melainkan beberapa buku, pulpen, dan peralatan sekolah lainnya..

Semua kelas sudah dirazia, hanya tersisa satu kelas saja. Dimana kelas tersebut terdapat seorang siswi yang menceritakan kisah ini. Apa gerangan yang terjadi ?!

Seperti biasa, dengan penuh percaya diri tim pemeriksa masuk ke dalam kelas. Mereka lantas meminta izin untuk memeriksa tas sekolah para siswi di sana. Pemeriksaan pun di mulai..

Di salah satu sudut kelas ada seorang siswi yang di kenal sangat tertutup dan pemalu. Ia juga di kenal sebagai seorang siswi yang berakhlak sopan dan santun. Ia tidak suka berbaur dengan siswi-siswi lainnya, ia suka menyendiri, padahal ia sangat pintar dan menonjol dalam belajar..

Ia memandang tim pemeriksa dengan pandangan penuh ketakutan, sementara tangannya berada di dalam tas miliknya !

Semakin dekat gilirannya untuk di periksa, semakin tampak raut takut pada wajahnya. Apakah sebenarnya yang disembunyikan siswi tersebut dalam tasnya ?!

Tidak lama kemudian tibalah gilirannya untuk di periksa..

Dia memegangi tasnya dengan kuat, seolah mengatakan demi Allah kalian tidak boleh membukanya !

Kini giliran di periksa, dan dari sinilah di mulai kisahnya...

"Buka tasmu wahai putriku.."

Siswi tersebut memandangi pemeriksa dengan pandangan sedih, ia pun kini telah meletakkan tasnya dalam pelukan..

"Berikan tasmu.."

Ia menoleh dan menjerit, "Tidak...tidak...tidak.."

Perdebatan pun terjadi sangat tajam..

"Berikan tasmu.." ... "Tidak.." ... "Berikan.." ... "Tidak.."

Apakah sebenarnya yang membuat siswi tersebut menolak untuk dilakukan pemeriksaan pada tasnya ?!

Apa sebenarnya yang ada dalam tas miliknya dan takut dipergoki oleh tim pemeriksa ?!

Keributan pun terjadi dan tangan mereka saling berebut. Sementara tas tersebut masih di pegang erat dan para guru belum berhasil merampas tas dari tangan siswi tersebut karena ia memeluknya dengan penuh kegilaan !

Spontan saja siswi itu menangis sejadi-jadinya. Siswi-siswi lain terkejut. Mereka melotot. Para guru yang mengenalnya sebagai seorang siswi yang pintar dan disiplin (bukan siswi yang amburadul), mereka terkejut melihat kejadian tersebut..

Tempat itu pun berubah menjadi hening..

Ya Allah, apa sebenarnya yang terjadi dan apa gerangan yang ada di dalam tas siswi tersebut. Apakah mungkin siswi tersebut.... ??

Setelah berdiskusi ringan, tim pemeriksa sepakat untuk membawa siswi tersebut ke kantor sekolah, dengan syarat jangan sampai perhatian mereka berpaling dari siswi tersebut supaya ia tidak dapat melemparkan sesuatu dari dalam tasnya sehingga bisa terbebas begitu saja..

Mereka pun membawa siswi tersebut dengan penjagaan yang ketat dari tim dan para guru serta sebagian siswi lainnya. Siswi tersebut kini masuk ke ruangan kantor sekolah, sementara air matanya mengalir seperti hujan..

Siswi tersebut memperhatikan orang-orang disekitarnya dengan penuh kebencian, karena mereka akan mempermalukannya di depan umum !

Karena perilakunya selama satu tahun ini baik dan tidak pernah melakukan kesalahan dan pelanggaran, maka kepala sekolah menenangkan hadirin dan memerintahkan para siswi lainnya agar membubarkan diri. Dan dengan penuh santun, kepala sekolah juga memohon agar para guru meninggalkan ruangannya sehingga yang tersisa hanya para tim pemeriksa saja..

Kepala sekolah berusaha menenangkan siswi malang tersebut. Lantas bertanya padanya, "Apa yang engkau sembunyikan wahai putriku..?"

Disini, dalam sekejap siswi tersebut simpati dengan kepala sekolah dan membuka tasnya !

Detik-detik yang menegangkan..

Ya Allah, apa sebenarnya benda tersebut ?

Coba tebak.. ?

Di dalam tas tersebut tidak ada benda-benda terlarang atau haram, atau telepon genggam atau foto-foto, demi Allah, itu semua tidak ada !

Tidak ada dalam tas itu melainkan sisa-sisa roti..

Yah, itulah yang ada dalam tas tersebut !

Setelah mengorek informasi dari siswi tersebut seputar roti itu..

Setelah merasa tenang, siswi itu berkata, "Sisa-sisa roti ini adalah sisa-sisa dari para siswi yang mereka buang di tanah, lalu aku kumpulkan untuk kemudian aku sarapan dengan sebagiannya dan membawa sisanya kepada keluargaku. Ibu dan saudari-saudariku di rumah tidak memiliki sesuatu untuk mereka santap di siang dan malam hari bila aku tidak membawakan untuk mereka sisa-sisa roti ini..

Kami adalah keluarga fakir yang tidak memiliki apa-apa. Kami tidak punya kerabat dan tidak ada yang peduli pada kami..

Inilah yang membuat aku menolak untuk membuka tas, agar aku tidak dipermalukan di hadapan teman-temanku di kelas, yang mana mereka akan terus mencelaku di sekolah, sehingga kemungkinan hal tersebut menyebabkan aku tidak dapat lagi meneruskan pendidikanku karena rasa malu. Maka saya mohon maaf sekali kepada Anda semua atas perilaku saya yang tidak sopan.."

Saat itu juga semua yang hadir menangis sejadi-jadinya, bahkan tangisan mereka berlangsung lama di hadapan siswi yang mulia tersebut..

Maka tirai pun di tutup karena ada kejadian yang menyedihkan tersebut, dan kita berharap untuk tidak menyaksikannya..

Karenanya wahai saudara dan saudariku, ini adalah satu dari tragedi yang kemungkinan ada di sekitar kita, baik itu di lingkungan dan desa kita sementara kita tidak mengetahuinya atau bahkan kita terkadang berpura-pura tidak mengenal mereka..

Wajib bagi seluruh sekolah dan pesantren untuk mendata kondisi ekonomi para santri-santrinya agar orang yang ingin membantu keluarga fakir miskin dapat mengenalinya dengan baik..

Kita memohon kepada Allah agar tidak menghinakan orang yang mulia dan memohon pada-Nya agar Dia selalu menjaga kaum Muslimin di setiap tempat..

(Sumber Majalah Islam Internasional Qiblati)
Kutip dari Grup WA An-Nashihah

Minggu, 19 April 2015

Kisah Nyata - Perjuangan Hidup Mak Edah

Selain merangkap sebagai seorang ibu rumah tangga Mak Edah juga merangkap sebagai kepala rumah tangga, karena suaminya Pak Darsah terkena penyakit struk yang sangat parah. jangankan untuk bekerja, untuk merangkak ke kamar kecil pun pak Darsah harus di bopong. Meskipun kondisi sang suami sudah tidak sama seperti dulu, namun tidak pernah terlintas sedikit pun di hatinya untuk mengakhiri biduk rumah tangganya.

Selain mengurus sang suami, Mak Edah juga harus menghidupi anak tertuanya yang juga terkena penyakit yang sama dengan suaminya. Belum lagi dia harus mengurus cucu yang sudah di tinggal oleh orang tuanya.

Beruntung di tempat tingga mak Edah ada sebuah industri rumahan pembuatan kripik singkong dan kripik pisang. Di situlah Mak Edah bekerja dan mengais sedikit rezeki untuk memenuhi kebutuhannya keluarganya.

"Kalau saya membuat kripik, biasanya perharinya saya di beri uang sebesar Rp 15.000. Kalau saya tidak bekerja saya tidak punya uang, kalau saya bekerja lumayan buat makan. Terkadang juga tidak makan, tidak masak karena tidak ada uangnya." kata Mak Edah saat di konfirmasi.

Selain membuat keripik, terkadang Mak Edah juga di perbolehkan mrnjual dan mengambl sedikit keuntungan dari keripik yang di jualnya. Industri kripik tempat mak Edah bekerja tidak memproduksi kripik setiap hari, jika kehabisan bahan maka mak edah di liburkan. Dan itu artinya mak edah tidak memiliki pemasukan.

Namun hal itu tidak menyurutkan tekad mak Edah, karena dia yakin kalau rezeki itu akan datang dari mana saja.

Jika sedang beruntung, terkadang ada saja tetangga mak Edah yang memerlukan tenaganya di sawah. terkadang juga Mak Edah masuk ke hutan untuk mencari kayu bakar.

Sejak usia muda mak Edah memang sudah terbiasa untuk bekerja keras, namun di usianya yang sudah berkepala enam. Fisiknya sudah tidak lagi kuat. Terkadang ia merasa capek, lelah dan sakit - sakit di tubuhnya. Tapi baginya jika dia tidak bekerja darimana dia bisa mendapatkan uang untuk keperluan dapur.


Kalau mak Edah bekerja di sawah, mengarit dan mengeprat batang padi mak Edah tidak di bayar pakai uang, tapi di bayar dengan padi. Jika dia dapat menghasilkan 10 rantang padi, maka mak Edah akan diberikan 1 rantang padi. Namun jika mak Edah menanam padi dia diberkan uang sebesar Rp 20.000 perharinya.

Meski pun makan hanya berlauk ikan asin, namun keluarga sederhana ni sudah sangat bersyukur. Jangankan untuk menyediakan lauk, untuk makan sekali dalam sehari saja mak Edah masih kewalahan.

"Saya pikir mau minjam, minjam ke siapa? Tidak ada yang mau kasi pinjaman. Saya sering menangis, saya menangis karena sedih, mau pnjam uang tapi tidak ada yang mau ngasi pinjaman. mau masak tidak ada beras, mau beli tidak ada uangnya. mau pinjam beras tidak ada yang mau ngasi pinjamam, saya menangis karena itu.

Jumat, 17 April 2015

Kisah Nyata - Ketulusan Do'a Fikri

Alkisah, disebuah desa yang berpenduduk cukup pdata dan ramai, hiduplah seorang ibu (Suminem) dan si anak (Fikri). Suminem adalah seorang janda yang di tinggal mati oleh suaminya, dan otomatis Fikri adalah seorang anak yatin yang saat itu sudah duduk di bangku kelas 3 SD.

Fikri sangat ingin melanjutkan sekolahnya, namun apa daya. Karena kondisi perekonomian yang sangat parah mengharuskan dia untuk mengurungkan niatnya untuk bersekolah. Karena kondisi ibunya sekarang ini juga lagi sakit dan membutuhkan obat.

Pada suatu malam, akhirnya Fikri memutuskan menulis sebuah surat yang di tujukan kepada Tuhan. Isi dari surat itu berbunyi :

Kepada YTH : Tuhan

Di : Syurga

Tuhan yang baik, saya ingin sekali melanjutkan sekolah saya, tapi orang tua saya tidak punya uang. Ibu saya juga lagi sakit, dia butuh obat, tapi tidak punya uang. Tuhan saya butuh uang

Rp 20.000 untuk beli obat ibu,
Rp 20.000 untuk membayar uang sekolah.
Rp 10.000 untuk membayar uang seragam.
Rp 10.000 untuk membeli buku

Jadi semuanya Rp 60.000.

Terima kasih Tuhan, saya tunggu kirimannya

Dari : Fikri.

Kemudian Fikri pun pergi ke kantor pos untuk mengirimkan surat tersebut. Membaca isi surat tersebut, petugas kantor pos merasa iba melihat Fikri, sehingga beliau tidak tega mengembalika suratnya.

Oleh karena di hantui oleh rasa kebingungan untuk mengantarkan surat iitu kemana, akhirnya si petugas kantor pos itu memutuskan untuk menyerahkan surat tersebut ke kantor polisi terdekat.

Membaca isi surat yang di Tulis fikri, sang komandan polisi itu merasa iba dan tergerak hatinya, kemudiian menceritakan hal itu kepada anak buahnya.

Alhasil, para polisi pun mengumpulkan dana untuk Fikri, tetapi dana yang terkumpul hanya Rp 55.000. Sang komandan pun memasukkan uang tersebut kedalam sebuah amplop dan memberi keterangan, bahwa uang itu dari Tuhan di syurga. kemudian menyerahkannya ke anak buahnya untuk di beriikan ke Fikri.

Alhasil uang sudah diterima oleh Fikri dengan hati yang sangat senang, karena permntaannya terkabul. Walau pun uang yang di terima hanya Rp 55.000. Fikri pun bergegas mengambil sebuah kertas dan pensil. Kemudian dia menulis surat lagi :

TERIMA KASIH TUHAN, TAPI LAIN KALI KALAU MAU MENGIRIM UANG JANGAN LEWAT POLISI, KARENA KALAU LEWAT POLISI AKAN DI POTONG RP 5000.


Berbagi Pengalaman ~ Si Buta Dan Sebuah Senter

Cerita ini berawal, saat mati lampu/listrik tadi malam di sekitaran kost dimana tempatku tinggal. Pada saat itu kebetulan saya duduk di teras depan kost, dan kebetulan ada seseorang yang aku kenal lewat di depan kost ku dengan menggunakan sebuah senter.

Aku sangat mengenalnya dan setahu aku orang itu buta. Yang membuatku bingung, kenapa dia harus membawa senter di gelapnya malam? sedangkan dia buta, dan menurut pemikiranku, walaupun dia berjalan menggunakan senter dia pun tidak dapat melihat jalan. Selayaknya kta orang - orang normal.

Dengan di penuhi dengan rasa penasaran yang mendalam aku pun beranjak untuk menghampiri dan bertanya kepada si orang buta tersebut, agar aku bisa mendapatkan jawaban dari rasa penasaranku.

"Pak, kenapa anda berjalan menggunakan senter? Padahal dengan atau tidak menggunakan senterpun anda tetap tidak bisa melihat jalan.!!! Jadi apa gunanya senter itu bagi anda.?" tanyaku penuh dengan rasa penasaran

"Iya nak, saya tahu. Memang senter ini tidak ada gunanya bagi saya. Tapi saya juga tahu kalau senter ini sangat berguna buat kalian yang bisa melihat."

"Jadi, buat apa bapak membawa senter ini?" jawabku memotong pembicaraan si bapak buta

"Tentu saja sangat berguna buatku, karena jika aku tidak membawa/menggunakan senter ini. Orang lain tidak yang bisa melihat tidak akan menyadari kalau aku ada disini, dan jika orang lain tidak bisa melihat ku disini. Bisa saja orang akan menabrakku karena dia tidak bisa menyadari keberadaanku."

Subhanaallah..


Dengan adanya pengalaman tersebut, saya pun mendapatkan sebuah pengalaman yang sangat berharga.

Bahwa, dengan memahami dan mengerti akan orang lain, akan membuat hidup kita akan jauh lebih baik.

Rabu, 15 April 2015

Kisah Nyata - Sedikit Harapan Siti

Udara sejuk masih dingin menyentuh dinginnya pagi, meski sinar sang mentari sudah panas menyeruak di antara dedaunan. Siti Nurjanah, sudah bersiap untuk pergi bersekolah. Terlihat dia sedang mengikat erat tali sepatunya sekuat mungkin. Karena untuk sampai kesekolahnya dia harus menempuh perjalanan sekitar 2 km.Namun hal ini tidak pernah menyurutkan harapannya untuk menuntut ilmu.

"Sekolah siti jauh, teman - teman siti naiik ojek. Siti mah jalan kaki tidak punya uang yang penting siti tetap sekolah walau pun harus jalan kaki." Itulah yang keluar dari mulut polos sang bocah saat di konfirmasi.

Sebelum berangkat kesekolah, Siti selalu menyempatkan diri untuk bertemu ibunya yang bekerja sebagai buruh kebun. Hanya untuk sekedar berpamitan.

Siti bersekolah di Sekolah Dasar 02 (SD 02) Cisero, saat ini ia duduk di bangku kelas 4. Disekolah Siti termasuk siswi yang tekun dalam mengikuti pelajaran. Dia juga tidak segan untuk bertanya kepada guru kalau ada pelajaran yang belum di pahaminya. Sayangnya karena banyak perlengkapan sekolah yang tidak ia miliki sering kali Siti terkendala di beberapa mata pelajaran. Untung saja sang guru mau memaklumi akan keadaan perekonomian keluarga Siti yang serba minim.


"Biasakan kalau pelajaran SBK, di beri tugas untuk membawa bahan - bahan untuk membuat keterampilan. Kadang siti tidak pernah membawa. Ya mungkin karena dia tidak mampu untuk membelinya. Siti hanya meminjam kepada temannya, kadang saya beri, saya beri pinjam buat siti, supaya belajarnya lebih lancar lagi." ungkap Sri Sulastri salah satu guru di sekolah Siti ini yang terlihat matanya berkaca - kaca saat di konfirmasi.

Nasib Siti memang sangat tidak beruntung seperti teman - temannya. Hal ini terlihat saat jam istirahat di mana teman - temannya terlihat sedang asyik melepas lelah dengan menyantap jajan di kantin sekolah pada saat jam istirahat, Siti hanya terlihat duduk termenung di teras depan kelasnya.


Sebenarnya dia pun pengen punya uang jajan, namun dia mengerti akan keuangan ibunya yang sangat terbatas.

Setiap pagi Khodijah, atau yang lebih akrab disapa Ijah (ibunya Siti). Memang selalu lebih awal pergi meninggalkan rumahnya untuk berkebun, kebun yang di garapnya adalah miliki tetangganya. Dia hanyalah seorang buruh bersih - bersih kebun, dia tidak menerima upah beruba uang, Ijah hanya di perbolehkan wanita (43) ini untuk ikut menanam singkong, talas, dan juga jagung di pinggir lahan perkebunan. Hasil yang dia tanam inilah yang nantinya akan ia panen yang hasilnya untuk ia makan sekeluarga dan juga ia jual. Suaminya sudah meninggal dunia Tujuh bulan lalu, setelah menderita penyakit struk selama tiga tahun. Sementara di rumah masih ada tiga anak yang menjadi tanggungannya.


"Ah, emak seadanya saya di kebun, kalau ada pisang dimakan, kadang di jual. Pisang satu tandannya 7000 rupiah tidak cukup untuk beli beras. Kerjaan hanya seperti ini, kalau ada yang membutuhkan tenaga saya, ya saya kerja. Kalau tidak ada ya saya dirumah saja. Saya sekeluarga juga makan tidak pakai nasi, Cuma pakai Singkong, Jagung, Ubi, Talas. Saya sudah tidak bekerja selama seminggu jadi seada - adany di kebun, metik singkong, jagung, ubi, talas." Itulah yg keluar dari mulut Mak Ijah saat di konfirmasi sambil mencabut pohon singkong untuk di jadikannya makan siang + makan malam ini di rumahnya bersama anaknya.

Untuk mendapatkan tambahan uang, terkadang Mak Ijah masuk ke hutan untuk mencari kayu bakar dan mengolah daun teh kalau ada pesanan dari tetangga.

Setiap hari selepas pulang sekolah dan mengganti pakaian sekolah. Siti selalu datang dan membantu ibunya bekerja. Bagi Mak Ijah kehadiran anak bungsunya sangat begitu berarti. Selain tenaga Siti bisa meringankan sedikit tenaganya, celoteh gadis kecil ini juga mampu menyuntikkan semangat baru baginya.

Karena ada sedikit pesanan teh, Mak ijah menyuruh Siti untuk memeting pucuk teh. Si pemilik kebun menizinkan sesekali memeting daun teh jika ada sedikit pesanan. Sekira daun teh yang di dapat sudah cukup Siti pun kembali ke arah Mak Ijah. Tepat sejak itu rintik - rintik hujan mulai membasahi dedaunan. Mak Ijah dan Siti pun bergegas untuk pulang.




Meski sudah bekerja seharian setibanya di rumah Mak Ijah tidak langsung beristirahat, dia harus segera mengolah pucuk - pucuk teh . Proses yang di lakukan Mak Ijah ini memang masih serba manual. Awalnya mak ijah Meremas - remas dan menggilas daun teh. Setelah hancur daun teh siap untuk di masak. Sebelumnya Mak Ijah harus menyiapkan tungku masaknya, Setelah di sulut kayu bakar harus di tiup menggunakan songsong atau sebilah batang bambu berukuran 30CM yang berlubang pada kedua ujungnya.

Setelah wajan di panaskan, serpihan daun teh pun harus segera di sangrai dan di aduk perlahan menggunakan tangan. Sementara Sitii terus menerus meniup songsong pada tungku. Karena dalam proses ini nyala api harus terus terjaga besar.


Setelah satu jam daun teh berubah warna menjadi kecoklatan dan mengering, yang artinya teh buatan Mak Ijah sudah jadi. Setelah didingnkan beberapa saat, daun teh di kemas menggunakan kantong plastik yang berukuran 1/2kg. Dari dua bungkus teh pesanan tetangganya ini, Mak Ijah hanya mendapatkan Rp 3000 Rupiah.

Setiap kali mak ijah membuat Teh biasanya hanya mendapatkan uang Rp 5000 Rupiah, uang tersebut di belikan Lilin 2 buah, tuk beli sabun seribu rupiah, untuk belanja Siti seribu rupiah kalau dapat lima ribu.

Sementara itu Lilis (Putri ke dua Mak ijah) Demi membantu sang ibu, Gadis berusia 16thn ini bekerja sebagai asisten rumah tangga harian. Dulu ia sudah pernah sekolah di kelas dua tsanawiyah atau setara kelas dua smp. Meski sering terlintas keinginan untuk duduk di bangku sekolah namun ia sadar kalau perekonomian keluarganya untuk ikut mencari nafkah.



Sejak pukul 06:00pagi hingga pukul 04:00 sore Lilis bertugas membersihkan rumah, memasak, menjaga anak dan menyetrika pakaian dengan upah 11.000 Rupiah. Penghasilan Lilis inilah yang biasa di pakai untuk menutupi kebutuhan sehari - hari.

"Ya, untuk pendidikan aku, aku masih.. cuman dari smp, pengen sekolah lagi, tapi gimana aku harus bantu orang tua. Kalau di lanjutin aku gak punya biaya, untuk melanjutkan sekolah. Cuman bisa membantu orang tua. Setiap hari aku di upah 11.000 Rupiah, itu Rp 11.000 Rupiah juga gak cukup buat makan sama keluarga, kalau gak cukup ya makan yang sudah ada, jarang makan nasi, gak dapat nasi." sambil meneteskan airmata Lilis mengucapkan kata - kata itu saat di konfir masi.

Sementara itu Putri sulung Mak Ijah yang bernama Deti, gadis berusia 18 thn inilah yang bertugas membereskan rumah saat Mak Ijah dan adiknya bekerja.

Keluarga ini memang sangat jarang untuk menyantap nasii, karena uang dari menjual teh tidak pernah cukup untuk membeli beras. Sementara waktu itu sudah terlihat di sudut dapur Siti sudah tidak sanggup menahan rasa laparnya.

Karna sering terlambat makan, Siti sering kali bahkan hampir setiap hari merasakan sakit perut. Jika Maagnya kambuh, Mak Ijah tidak pernah mengantarnya ke PUSKESMAS karena jaraknya teramat jauh dari rumahnya, Mak Ijah juga tidak memiliki uang untuk membayar dokter. Hanya sebotol air hangat yang yang bisa di siapkan Mak ijah sebagai obat penahan nyeri lambung putrinya ini.


Malam telah tiba, kegelapan pun menyelimuti seisi rumah, dengan di terangi oleh lampu tradisional Siti belajar mengaji dan mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) dari sekolahnya di damping sang kakak Lilis.

Rumah inimemang belum mendapat penerangan listrik. Upah bekerja Lilis tiap harilah yang di pakai untuk membeli minyak bahan bakar lampu. Meski dengan penerangan seadanya, Siti tetap semangat belajar, karena dia memiliki sebuah cita - cita mulia untuk menjadi seorang guru. karena baginya kalau menjadi Guru, dia bisa memiliki uang untuk di berikan kepada Emaknya.

Hampir setiap hari hanya sepiring Ubi rebus yang menjadi santapan Mak Ijah dan ketiga putrinya. Tanpa nasi atau pun lauk pauk sebagai penyemarak santapan. Meski demikian keluarga ini masih tetap bersyukur, karena mereka masih dapat makan hari ini.